Adjunct Professor John Cabot University of Rome, Pietro Paganini, memprediksi tiga skenario implementasi European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) menjelang pemungutan suara anggota perlemen Uni Eropa pada 14 November 2024 mendatang.
Skenario pertama adalah penundaan hingga 30 Desember 2025 disetujui serta bisa memberikan lebih banyak waktu persiapan. Sementara itu yang kedua adalah penundaannya ditolak dan tetap dilaksanakan pada 30 Desember 2024 sehingga memerlukan aksi segera. Dan ketiga, persetujuan dengan amandemen yang dapat menghasilkan tanggal serta persyaratan yang baru.
Baca Juga: Wamentan Sudaryono: Sawit Ibarat Angsa Bertelur Emas
Sementara itu, baik Perancis maupun Jerman yang disokong oleh lembaga swadaya masyarakat, menetang penundaan lebih panjang. Dalam hal ini, dukungan internasional diperlukan melalui kemitraan dengan negara produsen dan inisiatif seperti Team Europe Initiative (TEI) untuk bantuan teknis.
Untuk meningkatkan dialog internasional, menyediakan insentif ekonomi serta membantu negara berisiko dalam transisi bebas deforestasi, EU juga berupaya untuk membentuk forum multi stakeholder agar meningkatkan transparansi serta kerja sama strategis.
Adapun prinsip kerja sama ini melibatkan negara produsen untuk membangun keterlacakan rantai pasok, penghormatan hak asasi manusia, dukungan untuk petani kecil, serta transparansi data. Sementara itu uji kelayakan bakal dilakukan untuk mendukung upaya implementasi EUDR dengan beberapa cara.
“Misalnya dengan mengumpulkan data dan pernyataan uji kelayakan, memastikan keterlacakan produk dan penilaian risiko oleh otoritas yang berwenang seperti bea cukai dan komisi EU yang akan berkolaborasi dengan penegakan EUDR,” kata Pietro dalam Indonesian Palm Oil Conference di Bali, Jumat (8/11/2024).
Menurut Pietro, implementasi EUDR di negara-negara EU juga bervariasi. Dia mencontohkan Jerman yang tertinggal dalam implementasi serta mendukung penundaan untuk melihat panduan implementasi yang jelas. Sedangkan untuk Perancis sendiri, mereka mendukung kuat kendati masih menghadapi konflik internal pasca reshuffle.
Selain itu, Italia juga berproses lamban dalam penerapan meskipun Italia menjadi salah satu negara yang paling awal mengimplementasi EUDR. Sementara Spanyol terkendala lantaran sistem pemerintahan yang kompleks serta melakukan konsultasi publik.
Belanda sendiri mengaku bersikap proaktif dalam implementasi dan sudah berada di atas level negara lain dengan melakukan uji coba sistem.
Adapun enam tantangan implementasi EUDR di negara-negara Uni Eropa. Pertama, minimnya harmonisasi di antara anggota Uni Eropa, kedua keterlibatan produsen yang terbatas, ketiga potensi misinterpretasi atas persyaratan yang meningkatkan risiko untuk perusahaan.
Kemudian yang keempat adalah linimasa yang terlalu cepat. Kelima, data rantai pasok yang tidak lengkap menghalangi verifikasi bebas deforestasi dan terakhir sertifikasi yang tidak serta merta menggantikan uji kelayakan.
Implementasi EUDR juga dihadapkan dengan tantangan lanjutan di antaranya tingginya ongkos bagi pengusaha kecil, terbatasnya kapasitas penegakan serta ongkos kepatuhan yang menguntungkan perusahaan besar. Lalu ketiga adalah ketidaksesuaian dengan regulasi internasional, terakhir meningkatnya risiko rusaknya reputasi perusahaan akibat kesalahan yang tidak disengaja.
Baca Juga: Sekjen CPOPC: EUDR Jadi Tantangan Industri Sawit Dunia
Pietro pun merekomendasikan beberapa usulan dalam mendukung implementasi EUDR. Yakni menyebarkan data yang relevan dengan komisi EU berpartisipasi aktif dalam TEI dan SAFE (Sustainable Agriculture for Forests Ecosystems). Selain itu Pietro Paganini berpendapat bahwa penting untuk otoritas negara yang terlibat terus mencoba terlibat dengan otoritas EU yang relevan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar