Meski kasus gagal klaim jarang terjadi dalam kegiatan berasuransi, namun terkadang kondisi ini membuat sebagian orang ragu untuk memulai atau melanjutkan rencana perlindungannya melalui produk asuransi.
Padahal risiko tersebut dapat dicegah dengan mengedepankan iktikad baik, atau dalam dunia asuransi dikenal sebagai prinsip utmost good faith. Prinsip ini sangatlah sederhana, yakni baik pihak penanggung (perusahaan asuransi) maupun pihak tertanggung (nasabah asuransi) harus sama-sama jujur, terbuka, dan saling percaya.
Sebagai gambaran, pengamat asuransi sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) 2022-2045, Wahyudi Raman, mengungkapkan bahwa saat seseorang membeli polis asuransi dari perusahaan asuransi, sebenarnya membeli janji berupa pencairan jumlah uang tertentu untuk membiayai risiko-risiko yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
“Di sisi lain, perusahaan asuransi juga membeli kepercayaan nasabah melalui produk dan layanan proteksi yang ditawarkannya. Jadi, asuransi bukan sebatas transaksi terkait polis dan premi, namun juga soal kepercayaan yang sangat dalam,” ungkap Wahyudi.
Sementara itu, di dalam dunia asuransi, prinsip iktikad baik bekerja di dua sisi. Pertama, pihak asuransi harus jujur kepada nasabah tentang apa saja risiko yang ditanggung. Sebaliknya, nasabah pun harus jujur dalam menyampaikan fakta tentang dirinya.
Wahyudi mencontohkan jika nasabah tidak mengungkapkan dirinya punya penyakit tertentu atau riwayat penyakit keluarga, maka ia akan mengalami penolakan klaim saat risiko-risiko tersebut menimpa dirinya. Penolakan klaim ini terjadi bukan karena perusahaan asuransi ingin lari dari tanggung jawab, tapi karena ada informasi yang disembunyikan atau luput diungkap oleh nasabah saat pertama kali membeli polis asuransi.
Selain itu, lanjut Wahyudi, gagal klaim juga kadang terjadi karena adanya syarat-syarat kecil yang menjadi alasan perusahaan asuransi menolak pengajuan klaim oleh nasabah. Syarat-syarat kecil tersebut sejatinya berfungsi membantu nasabah asuransi untuk memahami apa sebenarnya yang ia beli. Itulah mengapa perusahaan asuransi selalu menerapkan jangka waktu tertentu (free look period) bagi nasabah untuk mempelajari dengan seksama seluruh hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam sebuah polis asuransi.
Baca Juga: Selain Tidak Dijamin Asuransi, Ini Syarat Lain Hapus Utang Macet UMKM oleh Pemerintah
Memahami ‘cara kerja’ iktikad baik dalam berasuransi
Asuransi hadir sebagai kontrak tidak tertulis antara dua pihak yang tidak saling kenal. Sebagai gambaran, saat nasabah bertemu seorang agen untuk membeli produk asuransi, lalu agen tersebut pindah atau berhenti kerja, maka janji yang disepakati kedua belah pihak akan tetap ada di dalam polis terkait. Di sinilah iktikad baik menjadi hal yang sangat krusial, di mana kepercayaan antara dua pihak yang tidak saling kenal ini lahir dari informasi yang terbuka dan jujur.
Lalu, bagaimana jika iktikad baik tidak dijalankan? Jawabannya adalah klaim bisa ditolak, nasabah kecewa, dan akhirnya industri asuransi menjadi ladang sengketa.
“Dari sudut pandang industri, pelaksanaan iktikad baik haruslah mampu membuat nasabah merasa aman dan percaya bahwa asuransi akan melindungi mereka saat terkena musibah di kemudian hari. Di sisi lain, iktikad baik juga membuat perusahaan asuransi percaya bahwa nasabah mereka telah memberikan informasi yang benar. Dengan begitu, premi yang ditentukan pun sesuai dengan profil risiko yang dihadapi,” ungkap Wahyudi.
Jika prinsip iktikad baik sering dilanggar, lanjut Wahyudi, maka bukan hanya satu atau dua pihak yang dirugikan, melainkan juga industri asuransi secara keseluruhan bisa terganggu. “Apalagi jika kondisi ini diikuti oleh dihapusnya Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yakni tentang kewajiban nasabah memberikan data akurat kepada pihak penanggung saat pembuatan polis, maka kemungkinan besar perusahaan asuransi akan menghadapi lebih banyak risiko klaim palsu atau klaim yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.”
Wahyudi mengingatkan bahwa jika skenario tersebut terjadi, perusahaan asuransi berisiko menanggung kerugian lebih besar, yang ujung-ujungnya akan dibebankan kepada semua nasabah dalam bentuk kenaikan premi. Artinya, tanpa Pasal 251, ada kemungkinan bahwa premi asuransi secara keseluruhan akan meningkat karena perusahaan harus menutupi potensi kerugian dari klaim yang sulit dikendalikan. Pada akhirnya, bukan hanya perusahaan asuransi yang dirugikan, tapi juga masyarakat luas.
Secara keseluruhan, Wahyudi menyimpulkan bahwa iktikad baik bukan hanya soal nasabah yang harus jujur atau perusahaan yang harus terbuka, namun juga tentang bagaimana masyarakat memandang kepercayaan.
“Dalam berasuransi, iktikad baik adalah cerminan bagaimana nasabah dan perusahaan asuransi memikul tanggung jawab saat berinteraksi satu sama lain,” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: