Masyarakat terus menyoroti kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yang menyeret sejumlah nama penting seperti Helena Lim hingga Mochtar Riza Pahlevi Tabrani. Terbaru, muncul dugaan adanya pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) saat menghitung kerugian negara oleh auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam persidangan, terjadi dialog menarik ketika antara Hakim Alfis Setyawan dan Auditor Suaedi. Hakim menuntut klarifikasi dari Suaedi mengenai posisi kerugian yang dialami PT Timah Tbk (Persero).
Baca Juga: Upaya Pemprov DKI Cegah Korupsi BUMD dan ASN
Ia mempertanyakan detail mengenai biaya penggantian lahan dan penambangan jika dilakukan oleh perusahaan itu sendiri, serta variabel yang menyebabkan kesimpulan bahwa biaya peleburan dianggap terlalu mahal.
“Jika PT Timah menambang sendiri, maka ada 2 cost yakni biaya penggantian lahan dan biaya penambangan. Dimana letak kerugian negaranya? Kemudian jelaskan variable sehingga biaya peleburan disimpulkan kemahalan,” tanya Hakim, dilansir Kamis, (14/11).
Suaedi menjelaskan bahwa kerugian negara disimpulkan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditunjukkan oleh penyidik. Ia menyebutkan adanya indikasi penambangan ilegal yang menjadi sumber kerugian negara karena perolehan bijih timah tanpa izin dianggap melanggar hukum.
"Dari keterangan saksi dan ahli ini adalah penambangan illegal yang mulia. Sumberdaya alam diperlukan ijin. Maka kami bekesimpulan bahwa perolehan bijih timah tanpa ijin itu illegal, dan itulah kerugian negara yang Mulia,” jelas Suaedi.
Namun, auditor tersebut mengakui bahwa tidak ada verifikasi dan klarifikasi langsung terhadap keterangan saksi dan ahli dalam BAP, serta tidak melakukan pemeriksaan yang mendalam saat kunjungan lapangan.
Kritik dari Penasihat Hukum Terdakwa
Penasihat Hukum Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih menyatakan kekecewaannya terhadap kesaksian Suaedi. Menurutnya, Suaedi tidak mengikuti SOP sebagai auditor, karena hanya menganalisis data berdasarkan BAP tanpa melakukan verifikasi dan klarifikasi saat kunjungan lapangan.
“Saksi terbukti tidak menjalankan SOP sebagai audior. Hanya menganalisa daan menyimpulkan berdasarkan BAP yang diperlihatkan penyidik. Demikian pula ketika melakukan kunjungan lapangan, tidak melakukan verifikasi dan klarifikasi, hanya dating ke lapangan saja,” ujar Junaedi.
Ia mengungkit bagaimana majeslis hakim berulang kali mengingatkan soal penjelasan terkait angka kerugian dan cara perhitungannya terkait dugaan kasus korupsi ini. Hakim juga menekankan bahwa fakta mengenai tindakan ilegal telah diungkapkan pada persidangan sebelumnya, sehingga fokus saat ini adalah pada aspek perhitungan kerugian.
Junaedi juga mengungkit bagaimana hakin mempertanyakan alasan auditor hanya menghitung biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terkait tanpa mempertimbangkan pendapatan atau pemasukan yang mungkin terjadi, serta tidak adanya perbandingan efisiensi biaya antara penambangan oleh pihak swasta dan penambangan sendiri oleh PT Timah Tbk (Persero).
Baca Juga: KKP Terima Pengakuan Tata Kelola Layanan Jasa Kelautan Berkualitas Internasional dan Bebas Korupsi
“Dipersidangan terbukti bahwa angka Rp271 Trilyun bukan berdasarkan hasil perhitungan BKPK. Ahli hanya mengadopsi angka yang dihitung oleh ahli lingkungan, dan tanpa mengkonfirmasi dan memverifikasinya,” jelas Junaedi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: