Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kenaikan PPN Jadi 12% Tak Turunkan Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi Secara Signifikan

        Kenaikan PPN Jadi 12% Tak Turunkan Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi Secara Signifikan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tidak akan berdampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

        Febrio memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2025 akan terjaga di atas 5% di tengah implmentasi PPN 12% yang akan dimulai pada Januari mendatang.

        Baca Juga: Menko Airlangga Gelar Kegiatan Penghematan Devisa Selama 10 Hari, Apa Itu?

        Ia menyampaikan pada dasarnya inflasi saat ini rendah di bawah 1,6% per November 2024, dengan melihat dampak kenaikan PPN 12% terhadap inflasi sebsar 0.2%, maka inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5%-3,5%.

        “Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5%. Dampak kenaikan PPN ke 12% terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (22/12).

        Adapun target pertumbuhan ekonomi pada tahun depan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,2%. 

        Ia menegaskan pemerintah pun memberikan paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik. Buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furniture juga tidak bayar pajak penghasilan untuk satu tahun. 

        “Pembebasan PPN rumah dan lain-lain akan menjadi bantalan bagi masyarakat [terhadap kenaikan PPN],” ujarnya.

        Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu sebelumnya menyampaikan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan dengan dampak 0,2% terhadap inflasi.

        Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat, sehingga bisa dilihat dampaknya terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan.

        Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti mengklaim peningkatan inflasi pada 2022 yang mencapai 5,51% bukanlah akibat kenaikan PPN.

        “Namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19,” tuturnya. 

        Berbeda dengan pernyataan pemerintah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan kenaikan tarif PPN berpotensi memperberat daya beli masyarakat yang saat ini sudah melemah. 

        Pasalnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91% secara tahunan atau year on year/YoY pada kuartal III 2024, bahkan menurun sebesar -0,48% secara kuartalan. 

        Deflasi berkepanjangan pun terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 yang diikuti dengan penurunan omzet UMKM hingga 60%. “Kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk situasi ini,” ujarnya dalam laporan Celios. 

        Dalam pandangannya, pemerintah masih bisa memanfaatkan opsi lain untuk menutup defisit anggaran, seperti optimalisasi penerimaan pajak dari sektor tambang yang ilegal.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
        Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya

        Bagikan Artikel: