Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Impor limbah plastik ke Indonesia terus meningkat sejak pelonggaran aturan pada tahun 2010 silam. Namun, manfaat ekonomi dari impor ini masih dipertanyakan, karena belum terbukti mendorong nilai tambah industri daur ulang secara signifikan.
Senior Fellow dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta, menyoroti bahwa banyak limbah plastik yang masuk justru berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa melalui proses daur ulang yang optimal.
"Penelitian kami tidak menemukan bukti bahwa peningkatan impor limbah plastik menyebabkan peningkatan nilai tambah asing, investasi, dan nilai tambah umum dari industri pengumpulan dan daur ulang," ujar Krisna dalam keterangannya, Kamis (3/4/2025).
Pelonggaran aturan impor yang terjadi pada tahun 2010 menyebabkan lonjakan masuknya limbah plastik ke Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah setelah China melarang impor limbah plastik pada 2018, yang mengakibatkan negara-negara maju mengalihkan ekspor limbah plastik mereka ke negara lain, termasuk Indonesia.
Meskipun beberapa industri seperti tekstil dan kimia juga memanfaatkan limbah plastik, peningkatan jumlah impor tidak diimbangi dengan kapasitas pengelolaan dan daur ulang yang memadai. Akibatnya, sebagian besar limbah tersebut tidak terolah dengan baik.
Regulasi mengenai impor limbah plastik di Indonesia pertama kali diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 231/MPP/kep/7/97. Regulasi ini membagi importir limbah ke dalam tiga kategori: umum, berbahaya (B3), dan non-berbahaya (non-B3). Hanya importir dalam kategori B3 dan non-B3 yang diizinkan mengimpor limbah plastik, namun dengan syarat harus digunakan untuk kepentingan produksi.
Krisna menyoroti dua potensi manfaat dari impor limbah plastik jika dikelola dengan baik. Pertama, Indonesia dapat membangun industri daur ulang yang lebih kuat, yang pada akhirnya dapat menciptakan peluang investasi dan lapangan kerja baru. Kedua, industri manufaktur yang menggunakan limbah plastik, seperti kimia dan tekstil, bisa meningkatkan produktivitas mereka dengan bahan baku yang lebih murah.
Selain itu, permintaan global terhadap produk daur ulang terus meningkat, terutama dari negara-negara maju yang semakin peduli terhadap keberlanjutan. Jika mampu memanfaatkan momentum ini, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama dalam industri daur ulang global.
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah kurangnya data yang akurat dan berkelanjutan mengenai limbah plastik. Hingga saat ini, tidak ada data jangka panjang yang bisa secara pasti menghubungkan impor limbah plastik dengan dampak lingkungan dan pembangunan industri.
"Sayangnya, data mengenai limbah plastik tidak dikumpulkan secara berkelanjutan, tetapi hanya pada waktu dan tempat tertentu. Hal ini menyulitkan dalam mengukur dampak nyata dari kebijakan impor limbah plastik," pungkas Krisna.
Dengan tantangan yang ada, pemerintah dan pelaku industri perlu bekerja sama dalam menciptakan regulasi yang lebih ketat serta sistem pengelolaan limbah yang lebih efektif agar impor limbah plastik dapat benar-benar memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia tanpa mengorbankan lingkungan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Istihanah
Tag Terkait: