Perjalanan Eddie Lembong Membangun PT Pharos Indonesia, Produsen Microlax, Septico, hingga Polysilane
Kredit Foto: Istimewa
Di balik deretan produk farmasi terkenal di Indonesia seperti Microlax, Septico, dan Polysilane, ada sosok pengusaha besar Eddie Lembong. Ia adalah pendiri PT Pharos Indonesia yang memproduksi berbagai produk farmasi di dalam negeri.
Lahir di Tinombo, Sulawesi Tengah, pada 30 September 1936, Eddie tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Joseph Lembong, diceritakan hanyalah seorang pedagang kecil. Meskipun begitu tekad Eddie untuk meraih pendidikan tinggi selalu kuat.
Semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), Eddie tidak hanya unggul secara akademis tetapi juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Jiwa wirausahanya sudah terlihat sejak ia menjual diktat kuliah dan buku catatan. Setelah lulus pada 1964, ia mengawali karir sebagai pengajar di ITB sekaligus bekerja sebagai apoteker di Bandung dan Jakarta.
Jalan hidup Eddie Lembong berubah ketika memasuki industri farmasi. Pada 1969, Eddie ditunjuk sebagai direktur PT Wigo, perusahaan farmasi pionir di Indonesia.
Pengalaman di PT Wigo menjadi batu loncatan bagi Eddie untuk mendirikan PT Pharos Indonesia pada 1971 bersama seorang rekan. Nama "Pharos" terinspirasi dari Pulau Pharos di Mesir, simbol mercusuar yang menerangi.
Meski awalnya berbagi saham 50:50, tetapi rekanannya memilih mundur dari PT Pharos Indonesia, meninggalkan Eddie sendiri memimpin perusahaan.
Selama meneruskan PT Pharos Indonesia, Eddie tidak hanya mengandalkan produksi lokal, tetapi juga membangun hubungan dengan perusahaan farmasi internasional, salah satunya The Wellcome Foundation Ltd asal Inggris. Kolaborasi ini membawa obat jantung Lanoxin dipasarkan di Indonesia melalui Pharos. Kerja sama itu kemudian berkembang dengan pendirian PT Wellcome Indonesia yang memperkuat posisi Eddie di industri farmasi.
Pada 1993, Eddie memperluas jaringan pemasaran dengan mendirikan Apotek Century, yang tidak hanya menjual obat tetapi juga memberikan edukasi kepada konsumen. Ketika krisis moneter 1997 melanda, banyak perusahaan kolaps dan mengandalkan bantuan pemerintah. Namun, Eddie memilih jalan berbeda, Pharos bertahan tanpa mengambil Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Baca Juga: 14 Tahun Bekerja di CFC, Irwan Barudi Sukses Dirikan Ratusan Gerai Ayam Geprek Sa’i dan Haji Chicken
Tragedi Mei 1998 menjadi titik balik bagi Eddie. Sebagai seorang Tionghoa-Indonesia, ia merasakan betapa dalamnya luka diskriminasi. Pada 1999, ia memutuskan mundur dari pucuk pimpinan Pharos dan mendirikan Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa) bersama Ir. Gilbert Wiryadinata. Organisasi ini memperjuangkan kesetaraan hak dan melawan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Pada 2006, ia mendirikan Yayasan Nabil, yang fokus pada akulturasi budaya melalui konsep "Penyerbukan Silang Antarbudaya". Melalui yayasan ini, Eddie mengupayakan pengakuan bagi tokoh seperti John Lie dan AR Baswedan sebagai Pahlawan Nasional.
Baca Juga: Perjalanan Mixue, dari Toko Es Serut hingga Sukses Jadi 45.000 Gerai
Di akhir hayatnya, Eddie sempat bergulat dengan penyakit gagal ginjal sebelum meninggal pada 1 November 2017 di usia 81 tahun. Namun, warisannya tetap hidup. PT Pharos Indonesia kini dipimpin putranya, Andre Lembong, dengan berbagai anak perusahaan seperti PT Prima Medika Laboratories, PT Primaxel Inovasi, dan PT Faratu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: