Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemberian Keterangan Palsu Akta Otentik PB 2023 Eks Serikat Pekerja AJB Bumiputera Dinilai Pidana Serius

        Pemberian Keterangan Palsu Akta Otentik PB 2023 Eks Serikat Pekerja AJB Bumiputera Dinilai Pidana Serius Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Polres Jakarta Pusat diminta segera mengusut tuntas dugaan tindak pidana pemberian keterangan palsu dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 KUHP. 

        Kasus ini mencuat setelah pelaporan oleh kuasa hukum manajemen AJB Bumiputera 1912, Faisal Habibie terkait dugaan manipulasi dokumen dalam permohonan eksekusi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diduga melibatkan serikat pekerja, antara lain atas nama Rizky Yudha Pratama.

        Praktisi hukum, Hendrikus Hali Atagoran menegaskan bahwa tindakan memberikan keterangan palsu dalam akta otentik merupakan tindak pidana serius sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP.

        “Ancaman pidananya cukup berat. Pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,” kata Hendrikus saat dihubungi, Rabu (23/4/2025).

        Adapun bunyi Pasal 266 KUHP, yakni sebagai berikut:

        Pasal 266

        1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya, sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun;

        2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

        Lebih lanjut, Hendrikus menekankan pentingnya proses penegakan hukum dalam kasus ini.

        “Jika terbukti ada pemalsuan atau penyampaian keterangan palsu dalam dokumen resmi yang dijadikan dasar putusan pengadilan, maka itu bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita,” tambahnya.

        Kasus ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap nasib para pemegang polis lainnya. Sebab, dana yang seharusnya digunakan untuk membayar kewajiban kepada pemegang polis menjadi tertahan akibat proses eksekusi yang dipertanyakan legalitasnya.

        Faisal Habibie dari pihak pelapor meyakini aparat penegak hukum bekerja secara objektif dan profesional dalam menyelidiki dugaan pelanggaran ini.

        Menurut Faisal, permohonan eksekusi terhadap Akta PB 2023 yang diajukan oleh perwakilan Serikat Pekerja Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dalam akta tersebut.

        Ia mengungkapkan bahwa dari sekitar 1.300 pekerja yang mengajukan eksekusi, hanya 267 yang secara legal berhak menerima manfaat dalam bentuk sertifikat pertanggungan jiwa—yang baru bisa dicairkan jika pekerja penerima telah meninggal dunia.

        "Namun, dalam prosesnya, klaim ini diajukan lebih awal dan dikabulkan oleh pengadilan. Ini menyebabkan terganggunya kewajiban perusahaan untuk membayar klaim kepada pemegang polis lain yang seharusnya diprioritaskan," ujar Faisal.

        Ia juga menambahkan bahwa manajemen telah mencoba mengklarifikasi hal ini dengan serikat pekerja melalui dua surat resmi, tetapi tidak mendapat tanggapan, sehingga pihaknya merasa perlu untuk melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian.

        Sementara itu, Rizky Yudha Pratama membenarkan bahwa dirinya telah dipanggil oleh penyidik Polres Jakarta Pusat untuk memberikan keterangan pada tanggal 8 April 2025.

        "Benar saya dipanggil, dan memang saya dilaporkan oleh Faisal Habibie,” ungkap Rizky.

        Ia menjelaskan bahwa perkara ini berkaitan dengan akta otentik permohonan eksekusi dan perjanjian bersama yang telah menjadi bagian dari kesepakatan internal antara pihak serikat pekerja dengan manajemen perusahaan.

        “Saya dianggap mengaburkan angka,” kata Rizky.

        Rizky juga menyatakan bahwa ia telah menunjuk kuasa hukum untuk mendampingi proses ini, dan berharap agar perkara ini dapat diproses secara perdata, bukan pidana.

        "Saya sudah di-PHK, gaji pun tidak saya terima sejak Maret. Tapi saya tetap dilaporkan. Harapan saya, proses ini dihentikan dan diselesaikan secara adil," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: