Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Pemerintah tengah mempersiapkan regulasi baru yang mengatur skema tarif sistem hibrida dalam ketenagalistrikan. Langkah ini menjadi komitmen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam membangun ekosistem energi baru dan terbarukan (EBT) yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, mengatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan belum mengakomodasi skema tarif untuk pembangkit berbasis teknologi gabungan seperti PLTS plus baterai (Battery Energy Storage System/BESS) maupun PLTS dengan biomassa.
“Kami sedang mempersiapkan regulasi untuk akumulasi tarif sistem hibrida di sistem terisolasi, karena Perpres No. 112 belum mengakomodasi teknologi hibrida,” ujar Feby dalam ESSA Summit 2025, Selasa (29/4/2025), di Jakarta.
Baca Juga: Antrean Panjang PLTS Atap, ESDM Kaji Penambahan Kuota 2025
Sebagai tahap awal, pemerintah akan mengembangkan PLTS berkapasitas 166 megawatt-peak (MWp) dan penyimpanan energi 390 megawatt-jam (MWh) di 94 lokasi, khususnya di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Selanjutnya, potensi EBT lokal seperti biomassa, angin, dan air akan dimanfaatkan sesuai karakteristik geografis tiap daerah.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan lebih dari 3.600 gigawatt (GW), yang mencakup sumber energi matahari, air, angin, panas bumi, bioenergi, hingga laut. Namun hingga akhir 2024, realisasi pemanfaatannya baru mencapai 15,8 GW atau sekitar 0,4% dari total potensi.
“Ini menunjukkan ruang pengembangan masih sangat besar,” tegas Feby.
Baca Juga: AESI Soroti Mandeknya Kompensasi PLTS Atap, Minta Regulasi Dikaji Ulang
Guna mempercepat transisi energi, pemerintah telah menerbitkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) hingga 2060. Dalam dokumen tersebut, kapasitas pembangkit nasional diproyeksikan mencapai 146 gigawatt (GW), yang terdiri atas 42 persen energi terbarukan variabel seperti surya dan angin yang akan didukung oleh sistem penyimpanan energi sebesar 34 GW, serta 58 persen dari energi terbarukan non-variabel seperti tenaga air dan panas bumi.
Sementara itu, pembangkit berbasis energi fosil, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, akan dikurangi secara bertahap dan digantikan dengan bahan bakar rendah karbon serta sumber energi hijau. Feby menyebutkan bahwa energi surya akan menjadi tulang punggung transisi energi nasional dengan target kapasitas lebih dari 100 GW pada 2060, sedangkan energi angin ditargetkan mencapai lebih dari 70 GW.
Untuk mendukung sistem kelistrikan yang lebih hijau dan andal, pemerintah juga tengah menyiapkan berbagai infrastruktur penyimpanan energi, seperti pumped hydro storage, battery storage, dan hydrogen storage.
Adapun program utama pengembangan energi surya saat ini meliputi tiga jenis yakni pertama, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar berbasis darat (ground-mounted) dengan target mencapai 4,68 GW pada 2030; kedua, PLTS terapung (floating solar PV) dengan potensi hingga 89,37 GW di lebih dari 290 lokasi seperti waduk, bendungan, dan danau; dan ketiga, PLTS atap (rooftop solar PV) dengan target 1,59 GW pada 2028. Pemerintah bahkan tengah mengkaji penambahan kuota PLTS atap karena tingginya minat dari pelanggan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri