Perjalanan William Tanuwijaya, dari Penjaga Warnet hingga Sukses Jadi Arsitek Ekosistem Digital Terbesar di Indonesia
Kredit Foto: Instagram/William Tanuwijaya
Lahir pada 18 November 1981 di Pematang Siantar, Sumatera Utara, William Tanuwijaya berasal dari keluarga biasa pada umumnya. Demi pendidikan, ia merantau ke Jakarta dan menempuh kuliah di Universitas Bina Nusantara (Binus). Untuk membiayai hidupnya, William bekerja sebagai penjaga warnet. Pengalaman ini ternyata menjadi titik awal perkenalannya dengan dunia internet dan e-commerce.
Seiring waktu, ketertarikannya terhadap teknologi dan internet berkembang pesat. Ia melihat bagaimana digitalisasi bisa mengubah cara orang berbisnis dan berkomunikasi. Ketika menyadari banyak pelaku UMKM kesulitan memasarkan produk secara daring, William melihat celah sekaligus peluang besar untuk menghadirkan solusi.
Pada tahun 2007, William bersama rekannya Leontinus Alpha Edison mulai merintis Tokopedia. Mimpi mereka sederhana namun berdampak besar, yaitu menciptakan platform yang menghubungkan penjual dan pembeli di seluruh Indonesia secara gratis. Pada 6 Februari 2009, Tokopedia resmi diluncurkan.
Saat itu, William tidak hanya menghadapi tantangan bisnis, tetapi juga masalah pribadi. Ayahnya didiagnosis kanker dan ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Namun, semangatnya tidak surut. Tokopedia mendapatkan pendanaan awal dari PT Indonusa Dwitama sebesar Rp2,5 miliar. Kemudian, East Ventures masuk sebagai investor pada 2009, diikuti oleh investor besar lain seperti CyberAgent Ventures dan SoftBank Ventures Korea.
Baca Juga: Suksesnya Trihatma Kusuma Haliman Meneruskan Agung Podomoro Group Lewat Keputusan Berani dan Tepat
Pada 2014, Tokopedia mencetak tonggak penting saat menerima investasi sebesar US$100 juta dari Sequoia Capital dan SoftBank Internet and Media. Tiga tahun kemudian, Alibaba Group memimpin pendanaan senilai US$1,1 miliar, mengukuhkan posisi Tokopedia sebagai raksasa e-commerce di Indonesia.
Puncaknya terjadi pada Mei 2021, ketika Tokopedia bergabung dengan Gojek untuk membentuk GoTo, ekosistem digital terbesar di Indonesia yang menggabungkan layanan e-commerce (Tokopedia), transportasi dan logistik (Gojek), serta keuangan digital (GoPay). William menjabat sebagai co-chairman di entitas baru ini.
Merger ini memungkinkan konsumen menikmati pengalaman belanja dan layanan yang terintegrasi, dari belanja online, pembayaran digital, hingga pengiriman dalam satu aplikasi. Sinergi antara Tokopedia dan Gojek menarik perhatian investor global dan memperkuat daya saing Indonesia di ranah digital Asia Tenggara.
Baca Juga: Suksesnya Le Minerale Masuki Pasar AMDK Indonesia hingga Asia Tenggara
Namun perjalanan tidak selalu mulus. Pada Desember 2023, GoTo menjual 75,01% saham Tokopedia ke TikTok melalui ByteDance seharga US$840 juta. GoTo mempertahankan 24,99% saham, namun sejak Februari 2024, tidak lagi mengkonsolidasikan laporan keuangan Tokopedia.
Di tengah dinamika tersebut, GoTo mencetak tonggak penting: laba bersih tahunan pertama pada 2024 sebesar Rp327 miliar, berbalik dari kerugian Rp3,67 triliun tahun sebelumnya. Perusahaan pun menargetkan EBITDA yang disesuaikan hingga Rp1,6 triliun pada 2025, serta melakukan buyback saham senilai Rp1,5 triliun untuk memperkuat nilai bagi pemegang saham.
Pada awal 2025, muncul kabar bahwa Grab tengah dalam negosiasi lanjut untuk mengakuisisi GoTo dengan nilai sekitar US$7 miliar. Jika terjadi, merger ini akan menciptakan dominasi besar di pasar ride-hailing Asia Tenggara.
Pada November 2024, GoTo bekerja sama dengan Indosat Ooredoo Hutchison meluncurkan Sahabat-AI, inisiatif pengembangan model bahasa untuk Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Program ini menggandeng AI Singapore, Tech Mahindra, serta sejumlah universitas di Indonesia untuk memastikan bahwa teknologi AI yang dibangun relevan secara lokal dan inklusif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: