- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Tak Hanya Rupiah, Pencabutan Izin Tambang Raja Ampat Berpotensi Guncang Pasar Nikel Global
Kredit Foto: Dok. KKP
EBC Financial Group menyoroti keputusan pemerintah yang baru-baru ini memutuskan untuk mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Meski disambut baik kelompok lingkungan hidup, langkah tersebut menimbulkan ketidakpastian baru bagi industri hingga pasar nikel global.
CEO EBC Financial Group, David Barrett menyebut bahwa pencabutan izin tambang itu merupakan titik temu beragam masalah yang mesti diperhatikan oleh investor, mulai dari lingkungan hingga dinamika pasar global.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel Dongkrak Ekspor Rp510 Triliun, Target Selanjutnya: Industri EV
“Kasus Raja Ampat menyoroti pertemuan antara faktor tata kelola berkelanjutan, kepentingan komunitas lokal, dan dinamika pasar global,” kata David Barrett, dilansir Kamis (3/7).
“Bagi para pedagang dan investor, ini menjadi peringatan bahwa pasar komoditas, khususnya sektor penting seperti nikel yang sangat sensitif terhadap tekanan kebijakan lingkungan," tambahnya.
Meski Raja Ampat bukan wilayah produksi utama, kebijakan ini mencerminkan pergeseran sikap pemerintah menuju tata kelola lingkungan dan regulasi yang lebih ketat. Hal tersebut merupakan sebuah sinyal penting bagi pelaku pasar yang mengamati arah kebijakan jangka panjang.
Menurut Barrett, para trader perlu mewaspadai dampak kebijakan ini terhadap volatilitas harga komoditas, nilai tukar rupiah, saham, hingga profil risiko tata kelola berkelanjutan dari Indonesia.
Saat ini, harga nikel memang mengalami rebound setelah sebelumnya terjun ke level terendah dalam lima tahun di kuartal I-2025. Tekanan itu dipicu oleh kelebihan pasokan dan kekhawatiran tarif dari Amerika Serikat.
Namun demikian, pencabutan izin yang baru-baru ini dilakukan membuka ketidakpastian baru, baik dalam hal volume produksi maupun kepercayaan investor terhadap kejelasan regulasi. Jika sengketa hukum meningkat atau terjadi pengurangan produksi lebih lanjut, pasar bisa kembali mengalami lonjakan harga.
Nikel diketahui merupakan penyumbang utama surplus perdagangan Indonesia. Pengurangan ekspor akibat penutupan tambang dapat menekan penerimaan negara dan memperburuk defisit transaksi berjalan, serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar rupiah (USD/IDR). Hal ini menciptakan risiko dua arah bagi pasar yakni volatilitas jangka pendek dalam pasar mata uang dan perubahan asumsi kebijakan moneter dalam jangka panjang.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel Jadi Senjata RI Menuju Negara Industri Maju
Barret menyarankan para pelaku pasar untuk memantau dengan cermat fundamental pasar dan sinyal politik yang berkembang khususnya di Indonesia. Hal tersebut karena keduanya akan menjadi faktor utama dalam menentukan arah harga nikel ke depan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: