Kredit Foto: Uswah Hasanah
Indonesia tengah menghadapi fenomena yang mengkhawatirkan yakni deindustrialisasi dini. Hal ini diungkapkan oleh Ilham Akbar Habibie, Ketua Dewan Pengarah Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Ilham menyebut, kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini hanya berkisar 19,2 persen, jauh dari target nasional sebesar 23 persen yang tertuang dalam RPJMN 2020–2024.
“Bandingkan dengan Cina yang kontribusi industrinya mencapai 28 persen, Thailand 27 persen, dan Vietnam 25 persen. Kita tertinggal cukup jauh,” ujarnya dalam seminar Outlook Industrialisasi Indonesia, Sabtu (5/7/2025).
Fenomena ini, menurut Ilham, bukan sekadar penurunan angka. Ia menyebut Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi dini, yaitu berkurangnya kontribusi sektor industri sebelum negara benar-benar mencapai tahap industrialisasi matang.
“Biasanya, deindustrialisasi terjadi di negara maju yang sudah melewati puncak industrialisasi. Tapi kita belum sampai di situ, sudah mulai turun. Ini tidak wajar,” tegas putra B.J. Habibie itu.
Ilham menilai struktur ekonomi Indonesia saat ini terlalu bergantung pada ekspor komoditas mentah seperti batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit (CPO).
“Kita ini kaya sumber daya alam, tapi terlalu lama hanya mengekspor dalam bentuk mentah. Nikel kita ekspor sebagai bijih, CPO juga sebagian besar masih mentah,” kata dia.
Menurutnya, kemandirian ekonomi hanya bisa dicapai lewat penguatan sektor manufaktur berbasis teknologi.
“Kalau kita ingin menciptakan lapangan kerja berkualitas, menarik investasi, dan punya daya saing global, industrialisasi adalah jawabannya,” jelas Ilham.
Baca Juga: Sinergi Jadi Kunci Transformasi Ekonomi di Tengah Ancaman Deindustrialisasi dan Minimnya Inovasi
Menjawab tantangan tersebut, Ilham mendorong perlunya gerakan reindustrialisasi nasional. Ia menekankan pentingnya visi kolektif bangsa untuk membalik arah tren deindustrialisasi yang selama ini terjadi.
“Ini bukan hanya tugas pemerintah. Semua pihak harus terlibat. Akademisi, pelaku industri, dunia pendidikan, dan masyarakat sipil harus bergerak bersama,” ujarnya.
Ilham menyatakan bahwa PII telah berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi. Dalam paparannya, ia mengungkapkan bahwa PII sedang menyusun berbagai kerangka kebijakan strategis, policy brief, dan peta jalan (roadmap) reindustrialisasi Indonesia, yang akan disampaikan kepada pemangku kebijakan sebagai bentuk tanggung jawab profesi insinyur.
Ilham juga menyoroti rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia dibanding negara tetangga. Rata-rata produktivitas pekerja Indonesia hanya sekitar USD 26.000 per tahun, jauh di bawah Malaysia (USD 55.000) dan Thailand (USD 32.000). Hal ini, menurutnya, mencerminkan ketimpangan dalam kualitas SDM dan kurangnya link and match antara pendidikan dengan kebutuhan industri.
Lebih jauh, investasi Indonesia dalam bidang riset dan pengembangan (R&D) juga masih sangat rendah, hanya sekitar 0,3% dari PDB.
“Idealnya, kita sebagai negara dengan status pendapatan menengah atas sudah mengalokasikan 1,8% untuk R&D. Tanpa itu, mustahil kita punya industri berbasis inovasi,” ungkap Ilham.
Meski tantangan besar menghadang, Ilham tetap menyuarakan optimisme. Ia percaya, Indonesia memiliki semua prasyarat untuk bangkit: sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja muda yang besar, dan sejarah panjang perjuangan bangsa.
“Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian dan komitmen kolektif. Reindustrialisasi bukan pilihan. Ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, sejahtera, dan berdaya saing di kancah global,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Istihanah