Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Gelombang proteksionisme Amerika Serikat (AS) melalui pemberlakuan tarif tetap sebesar 32% terhadap seluruh produk ekspor asal Indonesia mulai menimbulkan dampak serius terhadap kinerja sejumlah emiten besar nasional lintas sektor.
Dalam laporan riset terbaru yang dirilis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Selasa (8/7/2025), sejumlah sektor seperti tekstil, makanan-minuman, farmasi, logam, hingga pertahanan disebut masuk dalam radar risiko tinggi akibat kebijakan tarif tersebut.
Sektor tekstil dan garmen menjadi yang paling terpapar. PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL) dan PT Eratex Djaja Tbk (ERTX) memiliki eksposur ekspor ke pasar AS sebesar 20–30% dari total pendapatan ekspor.
Kebijakan tarif baru ini disebut dapat menekan volume ekspor hingga 25% dan memangkas margin laba bersih hingga 15% dalam satu tahun.
Baca Juga: Trump Tempel Tarif 32%, Pukulan Diam-Diam untuk Bursa RI?
“Hal ini berpotensi menggerus ekspor hingga 25% dan memangkas margin laba bersih hingga 15% dalam setahun,” ujar Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata.
Ia merekomendasikan diversifikasi pasar ke Eropa dan Timur Tengah serta skema contract manufacturing di AS sebagai mitigasi strategis.
Di sektor makanan-minuman, PT Mayora Indah Tbk (MYOR) juga terdampak. Sekitar 20% pendapatannya berasal dari ekspor ke AS, yang kini terancam akibat sensitivitas harga di segmen mass market.
Sementara PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) berpotensi kehilangan daya saing produk mi instan seperti Indomie di pasar diaspora karena kenaikan harga.
Strategi yang disarankan mencakup penggunaan pabrik luar negeri sebagai basis ekspor ulang, serta penetrasi pasar melalui distributor regional seperti di Kanada dan Meksiko.
Sektor kesehatan dan farmasi juga tidak luput. PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) menghadapi risiko stagnasi ekspor herbal dan OTC ke AS, meskipun kontribusinya masih di bawah 10%. Potensi pelemahan pertumbuhan tahunan dan hambatan penetrasi pasar menjadi kekhawatiran utama.
Baca Juga: AS Ancam Tarif 32%, Indonesia Didorong Cari Pasar Ekspor Alternatif
Liza menyarankan penguatan ekspor ke Malaysia, Arab Saudi, dan Belanda, serta kanal penjualan langsung ke konsumen melalui e-commerce.
Sementara itu, dari sektor agribisnis, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dinilai harus bersiap terhadap gangguan rantai pasok ke restoran Asia di AS. Meskipun eksposur langsung di bawah 10%, dampaknya bisa meluas ke sektor distribusi domestik.
Sektor industri strategis juga masuk perhatian, terutama PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) yang masuk rantai pasok global baterai kendaraan listrik. Kebijakan AS dinilai dapat mendorong relokasi rantai pasok ke negara non-BRICS.
“Jalin strategic alliance dengan mitra AS seperti Tesla dan Ford untuk pasokan jangka panjang,” kata Liza. Ia juga mendorong diplomasi nikel sebagai mineral strategis dalam perjanjian dagang.
Di sisi lain, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) dinilai berisiko kehilangan posisi sebagai pemasok utama karena dampak geopolitik. Diplomasi perdagangan dan stabilitas pasokan disebut menjadi kunci.
Sektor dirgantara dan pertahanan pun masuk sorotan. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menghadapi risiko politisasi dalam negosiasi pembelian pesawat dan kerja sama alutsista. Counter-trade dan goodwill package diplomatik disarankan untuk memperoleh preferensi tarif dan stabilitas kemitraan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri