Kredit Foto: Istimewa
Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi panel bertajuk "Koperasi Merah Putih: Menghadapi Realita, Meretas Solusi" pada 11 Juli 2025. Acara ini menghadirkan sejumlah pakar untuk membedah kebijakan pemerintah dalam mendirikan 80.000 Koperasi Merah Putih (KMP) sebagai bagian dari prioritas nasional. Diskusi mengungkap optimisme sekaligus kritik tajam terhadap program yang dinilai ambisius namun berpotensi mengabaikan prinsip dasar koperasi.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Iin Mayasari, Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerja Sama Universitas Paramadina, menegaskan keselarasan nilai koperasi dengan visi universitas, yakni Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemodernan.
Ia menjelaskan bahwa gotong royong dan kebersamaan dalam koperasi sejalan dengan semangat Keparamadinaan. Namun, ia mengingatkan sejumlah tantangan, seperti kualitas SDM pengurus koperasi, transparansi tata kelola, manajemen risiko, serta persaingan pasar dan konsistensi kebijakan pemerintah. Dukungan permodalan dari bank-bank HIMBARA diharapkan memodernisasi koperasi, tetapi perlu diwaspadai agar tidak terjebak dalam pola top-down yang tidak partisipatif.
Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya, menyoroti landasan konstitusional KMP, yakni Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan ekonomi berbasis kekeluargaan. Namun, ia mempertanyakan efektivitas program ini.
Regulasi yang lemah, seperti Surat Edaran Menteri Koperasi No. 1/2025, dinilai tidak cukup kuat untuk menjamin keberlanjutan KMP. Pendanaan dari APBD dan Dana Desa berpotensi menciptakan ketergantungan dan mengulang kegagalan KUD (Koperasi Unit Desa) era Orde Baru. Selain itu, KMP dikhawatirkan hanya mengambil alih usaha yang sudah ada, alih-alih menciptakan inovasi ekonomi desa. Apabila tidak dikawal, KMP justru bisa menjadi beban, bukan solusi.
Suroto, S.E. (Ketua AKSES dan Peneliti CRC) menyampaikan kritik pedas terhadap KMP. Ia menegaskan bahwa pembentukan KMP melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9/2025 bertentangan dengan UU No. 25/1992 yang menekankan kemandirian dan otonomi koperasi. Pendirian massal KMP dinilai sebagai "koperasi palsu" karena dibentuk secara koersif oleh negara, bukan inisiatif masyarakat. Banyak pengurus KMP tidak paham operasional koperasi, tetapi berharap mendapat gaji dari pemerintah. Ironisnya, PBB menetapkan 2025 sebagai International Year of Cooperatives, tetapi Indonesia justru mengadopsi model British Indian Pattern yang sentralistik. "Ini langkah mundur. Koperasi seharusnya lahir dari bawah, bukan dipaksakan negara," tegas Suroto.
Dr. Muhammad Iksan, M.M., Dosen Paramadina, menganalisis KMP dari sudut pandang ekonomi makro. Ia mencatat pertumbuhan cepat KMP, di mana hingga Juni 2025, 87% KMP sudah berbadan hukum. Namun, fokus program ini lebih pada kuantitas daripada kualitas.
Tantangan nyata terlihat dari penurunan Koperasi Simpan Pinjam dan KUD tradisional, yang menunjukkan persoalan tata kelola. Ia memberi tiga rekomendasi, yaitu pendekatan bottom-up, evaluasi mendalam, dan sinergi dengan UMKM. Ungkapnya, lebih baik terlambat daripada terburu-buru dan gagal.
Diskusi ini menggarisbawahi bahwa KMP, meski memiliki niat baik, berisiko mengabaikan prinsip kemandirian, demokrasi, dan otonomi koperasi. Jika tidak diikuti pendampingan serius, program ini berpotensi menjadi "proyek mercusuar" yang justru merugikan ekonomi desa.
Universitas Paramadina, melalui para akademisinya, mendorong pemerintah untuk memperkuat aspek regulasi dan partisipasi masyarakat agar KMP benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar kebijakan simbolis.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: