Krisis Digital Jabar: Komisi I DPRD Soroti Dugaan Doxing hingga Kebocoran Data 4,6 Juta Warga
Kredit Foto: Ist
Dunia digital di Jawa Barat kembali diguncang. Komisi I DPRD Jawa Barat menyuarakan kegelisahannya atas maraknya insiden pelanggaran hak digital warga, mulai dari dugaan doxing hingga dugaan kebocoran data pribadi 4,6 juta warga. Kekhawatiran ini mencuat dalam rapat khusus bersama Dinas Komdigi, Disdukcapil, KPID, Komisi Informasi, dan aktivis demokrasi Neni Nur Hayati yang menjadi korban langsung serangan digital, Senin (4/8).
Ketua Komisi I DPRD Jabar, Rahmat Hidayat Djati, menegaskan bahwa isu ini bukan hanya perkara teknis atau urusan internal dinas, tetapi menyangkut nasib demokrasi itu sendiri.
"Ini pelajaran mahal. Yang harus kita selamatkan adalah demokrasinya," tegas Rahmat di Bandung, Senin (4/8/2025).
Baca Juga: PAW PPP DPRD Jabar Tuntas, Komisi I Siap Suarakan Isu Strategis Jabar Istimewa
Lebih tajam lagi, Anggota Komisi I, Rafael Situmorang, menyampaikan kekhawatiran bahwa situasi ini berpotensi menjadi preseden buruk.
"Kalau kelompok-kelompok penyeimbang dihabisi, lalu siapa yang akan mengawasi kekuasaan? Ini berbahaya. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely," katanya.
Rafael bahkan menyebut ada kecenderungan upaya membungkam kritik melalui serangan digital. Ia juga mengkritisi lemahnya fungsi lembaga seperti KPID dan Komisi Informasi dalam menghadapi disinformasi dan kekerasan digital yang kini marak di media sosial.
Sementara itu, Kepala Dinas Kominfo Jabar, Mas Adi Komar, mengatakan pihaknya tidak anti kritik dan telah mengambil sejumlah langkah, termasuk men-take down unggahan bermasalah serta menjawab somasi dari pihak Neni. Namun, permintaan maaf terbuka yang dinantikan korban tak kunjung datang.
"Kami menghormati kritik dan terbuka atas masukan. Sudah ada langkah kami untuk menanggapi. Tapi kami tegaskan tidak ada anggaran APBD untuk buzzer seperti yang dituduhkan," ujarnya.
Namun bagi aktivis demokrasi, Neni Nur Hayati, respons pemerintah belum cukup. Ia menyayangkan sikap pasif Pemprov dan minimnya empati terhadap korban kekerasan digital.
"Saya hanya minta permintaan maaf terbuka. Kalau itu dilakukan sejak awal, kasus ini selesai. Tapi sekarang saya dan tim hukum akan bawa ini ke ranah hukum," tegas Neni.
Lebih jauh, Neni menilai lemahnya perlindungan terhadap warga dalam ruang digital menandakan adanya krisis kepemimpinan dan konservatisme berpikir dalam birokrasi.
Baca Juga: DPRD Jabar Gaet KPK Bangun Zona Integritas, Sosialisasi Gratifikasi Jadi Langkah Preventif Legislator Antikorupsi
"Brutalnya ruang digital di Jabar hari ini tidak dijawab dengan perlindungan yang serius. Tak ada pos pengaduan, tak ada bantuan hukum, bahkan jawaban somasi hanya berlindung pada dalih keterbukaan informasi," ungkapnya.
Kasus Neni hanyalah puncak gunung es dari ketimpangan digital yang mengintai banyak warga. Dalam era ketika identitas dan opini dapat diserang dengan mudah di media sosial, ketidakjelasan sistem perlindungan membuat siapa pun rentan menjadi korban.
Jawa Barat, sebagai provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, semestinya menjadi pionir dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat, adil, dan aman. Namun, alih-alih membangun sistem pengaduan dan perlindungan yang terstruktur, pemerintah daerah justru terkesan defensif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat