Terlalu Meromantisasi Gig Economy, Negara Diminta Akui dan Lindungi Pekerja Ojol Usai Tragedi
Kredit Foto: Istimewa
Seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat ada aksi demonstrasi di Jakarta, Sabtu (30/8/2025) malam.
Tak pelak, insiden ini pun memicu gelombang reaksi dari komunitas pengemudi ojol di berbagai daerah, yang menilai peristiwa tersebut mencerminkan rapuhnya perlindungan bagi jutaan pekerja transportasi informal.
Baca Juga: Ojol Dukung Mobilitas Urban, MTI Desak Negara Beri Perlindungan
Menurut pemerhati transportasi, Muhamad Akbar, Affan bukan hanya korban kecelakaan, tetapi kepergiannya menjadi simbol keresahan pengemudi ojol yang selama ini bekerja tanpa kepastian hukum maupun jaminan sosial.
"Kematian Affan Kurniawan menggambarkan betapa rentannya posisi para pengemudi ojol dalam lanskap sosial kita. Negara tidak bisa terus mengambil posisi pasif," kata Akbar dalam keterangannya, dikutip Minggu (31/8/2025).
Kehadiran ojol sejatinya lahir dari kebutuhan masyarakat perkotaan atas moda transportasi cepat dan terjangkau di tengah keterbatasan angkutan umum massal.
Namun, hingga kini status hukum ojol masih menggantung, tanpa kepastian apakah mereka diakui sebagai bagian dari sistem transportasi nasional.
Menurut Akbar, jumlah pengemudi ojol di Indonesia mencapai jutaan orang yang terhubung melalui jaringan komunikasi organik, mulai dari basecamp hingga grup WhatsApp.
Jejaring ini menjadi modal sosial yang nyata, melahirkan solidaritas kuat yang terlihat dalam berbagai aksi di lapangan.
"Pengakuan formal terhadap ojek online, disertai perlindungan kerja, jaminan sosial, dan hak berserikat harus menjadi agenda kebijakan ke depan," ujarnya.
Peristiwa kematian Affan mempertegas bahwa persoalan ojol tidak lagi terbatas pada tarif atau insentif. Para pengemudi kini muncul sebagai kekuatan sosial baru di perkotaan, dengan identitas kolektif yang semakin jelas.
Akbar menegaskan bahwa negara tidak bisa terus mengambil posisi pasif terhadap dinamika besar yang melibatkan jutaan pengemudi di lapangan. Perlindungan dan pengakuan atas peran mereka harus menjadi bagian dari agenda kebijakan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, dia juga menyebut bahwa pengakuan formal terhadap ojek online sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, disertai perlindungan kerja, jaminan sosial, dan hak untuk berserikat serta menyuarakan aspirasi, harus menjadi bagian dari agenda reformasi ke depan.
Apabila negara abai dalam langkah tersebut, Akbar mewanti-wanti adanya letupan sosial berikutnya yang akan muncul dengan daya tekan yang lebih besar dan jangkauan yang lebih luas.
"Ketika suara tak lagi menemukan tempatnya, jalanan menjadi titik temu antara harapan dan kecewa. Bukan sekadar ruang untuk marah, tetapi isyarat bahwa ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja," jelas Akbar.
Senada, peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono, menilai kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak tepat sasaran turut memperburuk kondisi pekerja sektor informal, termasuk pengemudi ojek online (ojol) dan pekerja gig economy. Menurutnya, kegagalan negara dalam menciptakan lapangan kerja formal mendorong anak muda masuk ke pekerjaan tanpa perlindungan sosial.
“Seharusnya anak muda berusia 20-an bisa masuk ke sektor formal yang produktif. Kenyataannya, banyak yang berakhir di sektor informal seperti gig economy. Ini merupakan representasi kegagalan pemerintah mendorong sektor formal,” kata Riandy dalam diskusi ekonomi, Minggu (31/8/2025).
Ia menjelaskan, meski APBN 2025 di atas kertas menargetkan penguatan sektor pertanian melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), realisasi serapannya rendah. Hingga Agustus, dari Rp171 triliun yang dialokasikan, hanya Rp8 triliun yang terserap. Menurut Riandy, kondisi ini menyebabkan sektor lain seperti konstruksi, perhotelan, serta makanan dan minuman justru terkontraksi.
“APBN kita justru memberatkan perekonomian, bukan membantu. Seharusnya di tengah perlambatan, APBN bisa menjadi shock absorber,” ujarnya.
Lebih jauh, Riandy menilai lambannya pemulihan manufaktur sebagai penyerap utama tenaga kerja padat karya turut memperbesar ketergantungan pada pekerjaan informal.
“Sejak krisis Asia, manufaktur melambat. Investasi lebih banyak masuk ke sektor padat modal seperti hilirisasi, yang tidak banyak menciptakan pekerjaan,” katanya.
Kondisi ini, menurutnya, memperkuat tren pekerja muda beralih ke sektor gig economy yang minim perlindungan.
“Pekerjaan digital memang menyerap tenaga kerja, tapi banyak yang tidak mendapat asuransi, kepastian pendapatan, dan jaminan hari tua,” tambahnya.
Riandy juga menyoroti minimnya bantuan sosial dibandingkan pos anggaran lain. Ia menyebut realokasi sebagian dana MBG menjadi cash transfer langsung akan lebih efektif meningkatkan pendapatan rumah tangga.
“MBG tidak meningkatkan disposable income. Bantuan tunai jauh lebih membantu,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya pemerintah kembali fokus pada sektor padat karya untuk menyediakan pekerjaan berkualitas.
Baca Juga: Grab Tegaskan Perlindungan Penuh bagi Mitra Ojol Terdampak Insiden
“Indonesia terlalu lama meromantisasi gig economy. Pekerjaan informal membantu bertahan hidup, tapi kita pantas mendapat yang lebih baik,” kata Riandy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: