Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemerintah Diminta Fokus Berantas Rokok Ilegal, Pekerja dan DPR Memohon Moratorium Cukai Rokok

        Pemerintah Diminta Fokus Berantas Rokok Ilegal, Pekerja dan DPR Memohon Moratorium Cukai Rokok Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Industri rokok kembali menjadi perhatian masyarakat setelah pemerintah menetapkan untuk tidak meningkatkan tarif pajak pada 2026. Kebijakan ini dianggap sebagai sebuah isyarat yang baik oleh para buruh dan legislator, yang berpendapat bahwa tindakan itu dapat mengurangi beban pada sektor tersebut. Akan tetapi, mereka menegaskan bahwa regulasi cukai untuk produk tembakau juga perlu diprioritaskan agar dapat memastikan kelangsungan hidup pekerja dan membatasi persebaran rokok illegal yang kian meluas.

        Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Jawa Timur, Purnomo, menyambut baik keputusan pemerintah menahan kenaikan pajak. “Kami melihat kebijakan tidak naiknya pajak di 2026 sebagai bentuk respons positif dari pemerintah setelah mendengar suara dari rakyat. Aksi di 107 titik kemarin jelas menunjukkan keresahan rakyat kecil, termasuk pekerja dan petani,” ujarnya.

        Ia menegaskan bahwa konsistensi kebijakan juga harus diterapkan pada CHT. “Menurut kami, moratorium (penundaan kenaikan) cukai rokok selama tiga tahun ke depan adalah langkah paling realistis dan adil untuk situasi sekarang. Dengan moratorium, ada kepastian untuk pekerja bisa tetap bekerja dan industri bisa menjaga keberlangsungan,” jelasnya.

        Purnomo menambahkan bahwa moratorium bukanlah bentuk kelonggaran bagi industri, melainkan perlindungan terhadap jutaan keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor ini. “Kebijakan ini bukan soal memberi ‘keringanan’ pada industri tembakau, tapi soal melindungi jutaan keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor ini,” tegasnya.

        Baca Juga: Cukai Rokok Terlalu Tinggi, Purbaya Ingatkan Risiko PHK Massal Hingga Rokok Ilegal

        Dari sisi legislatif, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, turut menyoroti kondisi sulit yang dihadapi pelaku usaha di industri tembakau. Ia mengingatkan bahwa kenaikan tarif CHT yang agresif dapat memukul industri, terutama pabrik-pabrik yang kini tengah berjuang mempertahankan operasional.

        “Paling tidak kan kelihatan pabrik-pabrik rokok besar kesulitan kalau terjadi kenaikan cukai di tahun depan, apalagi kalau kenaikannya sifatnya adalah agresif,” ujar Harris dalam Rapat Kerja dengan Kementerian Keuangan.

        Menurutnya, bahkan kenaikan sebesar 10% saja sudah sangat memberatkan. “Sehingga kalau dinaikkan 10% berarti dari Rp1.760 (harga rokok per batang plus cukai) menjadi Rp840 tambahannya, enggak ada lagi ruang bagi perusahaan-perusahaan untuk sekedar menutup biaya produksinya,” jelasnya.

        Harris menegaskan bahwa Komisi XI berharap pemerintah menahan kenaikan tarif CHT, dan lebih fokus pada pemberantasan rokok ilegal. “Caranya bagaimana? Yang jelas seperti teman-teman katakan pemberantasan rokok ilegal, kalau ini bisa diberantas pasti kenaikannya (penerimaan cukai) luar biasa pak,” imbuhnya.

        Di tengah dorongan dari banyak pihak agar pemerintah menahan kenaikan tarif CHT pada periode 2026–2029, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai struktur tarif cukai rokok saat ini sudah terlalu memberatkan. Menurutnya, beban tarif yang tinggi telah mempengaruhi kinerja industri tembakau sekaligus ekosistem yang menopangnya. Kondisi tersebut juga berdampak pada kontribusi cukai terhadap penerimaan negara.

        “Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya kan, cukai rokok gimana, sekarang berapa? rata-rata 57%, tinggi amat, banyak banget," kata Purbaya.

        Desakan terhadap moratorium kenaikan cukai tidak hanya mencerminkan kepentingan industri, tetapi juga menyangkut keberlangsungan jutaan tenaga kerja yang bergantung pada sektor industri tembakau. Industri ini menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kebijakan fiskal ke depan diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan perlindungan terhadap sektor padat karya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: