Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        PLTSa Jalan Ditempat 7 Tahun, KESDM Ungkap Biang Masalah dan Solusinya

        PLTSa Jalan Ditempat 7 Tahun, KESDM Ungkap Biang Masalah dan Solusinya Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dalam tujuh tahun terakhir, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang digadang-gadang sebagai solusi darurat sampah nasional sekaligus sumber energi bersih, justru berjalan tersendat.

        Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 35 Tahun 2018 untuk mendorong proyek-proyek PLTSa. Namun, dari 15 proyek yang tersebar di 12 kota prioritas, hanya dua yang berhasil mencapai tahap Commercial Operation Date (COD).

        Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menilai rendahnya capaian ini mencerminkan berbagai kendala di lapangan, mulai dari regulasi, pembiayaan, hingga kepastian investasi.

        “Kalau kita lihat dari 12 kota yang jadi prioritas, hanya 2 kota yang bisa menghasilkan listrik, berarti hasilnya hanya 16,7 persen,” ujar Yuliot dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di Wisma Danantara, Jakarta, Selasa (30/9/2025).

        Dua PLTSa yang sudah COD itu adalah milik PT Sumber Organik, yang mulai beroperasi secara komersial pada Mei 2021 di Surabaya, dengan kapasitas pengolahan sampah 1.000 ton per hari dan mampu menghasilkan 9 megawatt listrik menggunakan metode gasifikasi.

        Kedua, PLTSa milik PT Solo Citra Metro Plasma Power, yang COD awal 2024 di Surakarta, dengan kapasitas pengolahan 545 ton per hari dan menghasilkan 5 megawatt listrik, juga menggunakan metode gasifikasi.

        “Dalam pelaksanaannya cukup banyak hambatan-hambatan yang dihadapi sehingga investor yang berminat untuk melakukan kegiatan investasi itu tertunda pelaksanaannya sehingga banyak pelaksanaan yang tidak terlaksana,” lanjut Yuliot.

        Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melalui integrasi berbagai kementerian telah merampungkan revisi Perpres No. 35 Tahun 2018, yang diharapkan mempercepat pengembangan PLTSa di Indonesia.

        "Di Perpres baru ini akan kita laksanakan penyederhanaan persyaratan dan juga prosedur dalam pengolahan sampah," sambung Yuliot.

        Peran BPI Danantara dan Integrasi Daerah

        Optimisme pemerintah semakin kuat dengan keterlibatan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Sovereign Wealth Fund milik pemerintah ini kini bertugas sebagai nahkoda dalam implementasi PLTSa, termasuk memprioritaskan proyek-proyek strategis dan berinvestasi bersama mitra, atau melalui penugasan jika mitra tidak tersedia.

        Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pemerintah daerah untuk terlibat dalam pengumpulan, pengangkutan, dan penyediaan sampah sebagai bahan baku pengolahan energi. Skema terbaru memungkinkan kolaborasi antar-daerah jika kapasitas sampah di satu wilayah tidak mencukupi, sehingga PLTSa terintegrasi bisa dibangun melibatkan beberapa kabupaten/kota.

        Pemerintah juga memberikan subsidi kompensasi kepada PT PLN (Persero) dalam program PSEL/Waste to Energy (WTE), menggantikan skema tipping fee yang sebelumnya dibebankan kepada pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

        “Dengan integrasi antardaerah, keekonomian proyek meningkat. Internal Rate of Return (IRR) bisa naik sekitar 1,3 persen,” jelas Yuliot.

        CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, menegaskan bahwa tipping fee merupakan beban berat bagi pemerintah daerah. Dalam konteks PLTSa, tipping fee adalah biaya layanan yang dibayarkan oleh pemerintah daerah kepada pengelola PLTSa atau Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sebagai kompensasi atas pengolahan sampah.

        Rosan menjelaskan, untuk kapasitas pengolahan 1.000 ton sampah per hari, biaya tipping fee bisa mencapai lebih dari Rp140 miliar per tahun, dengan asumsi Rp400 ribu per ton.

        "Jadi tidak ada lagi beban tipping fee yang dibebankan kepada daerah-daerah, tetapi itu semua akan diabsorb langsung oleh PLN, dan kemudian PLN akan mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat," ungkap Rosan.

        Dengan skema baru ini, pemerintah menetapkan harga listrik PLTSa sebesar US$ 0,20 per kilowatt-hour (KWh), meningkat dari US$ 0,1335 per KWh saat tipping fee masih dibebankan ke Pemda.

        "Kita akan melaksanakan program ini di 33 kota. Semuanya akan dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan proses standar yang dilaksanakan oleh Danantara sesuai Perpres yang diterbitkan oleh Bapak Presiden,” tegas Rosan.

        Program ini, kata dia, dipercepat sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi darurat sampah di berbagai daerah sekaligus mendukung target Net Zero Emission 2060. “Rencananya, kita akan launching program ini pada akhir Oktober," ujarnya.

        Managing Director Investment BPI Danantara, Stefanus Ade Hadiwidjaja, memperkirakan pembangunan PLTSa dengan kapasitas pengolahan 1.000 ton sampah per hari membutuhkan investasi Rp2–3 triliun, termasuk infrastruktur pendukung.

        Secara keseluruhan, Program PSEL/WTE tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, dengan target pemanfaatan energi dari sampah sebesar 452,7 megawatt, total investasi US$ 2,72 juta atau setara Rp1.682,4 miliar, dan proyeksi penyerapan 760 lapangan kerja hijau.

        "Mungkin untuk seribu ton sampah, kira-kira antara Rp2 sampai 3 triliun. Total investasinya, termasuk untuk infrastruktur pendukungnya," ujar Stefanus.

        Jumlah Produksi Sampah Nasional Saat Ini

        Wakil Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menjelaskan bahwa saat ini Indonesia memproduksi sekitar 146 ribu ton sampah per hari, atau setara 53 juta ton per tahun, belum termasuk timbunan sampah yang sudah ada di TPA.

        Waste to Energy sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan sampah, khususnya sampah baru yang masuk. Program ini akan dijalankan di 33 daerah. Kementerian Lingkungan Hidup juga telah melakukan rapat maraton untuk mengidentifikasi daerah-daerah prioritas yang bisa segera didorong menjadi lokasi pembangunan PSEL,” kata Diaz.

        Diaz menambahkan, pemerintah telah mengidentifikasi sejumlah daerah yang berstatus darurat sampah dan menjadi prioritas pembangunan PLTSa, yaitu DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Bali.

        Namun, pembangunan PLTSa di daerah harus memenuhi sejumlah kriteria. Pemerintah daerah diwajibkan menyiapkan lahan sekitar 5 hektare, memastikan lokasi dekat dengan sumber air, memiliki akses jalan memadai, serta menjamin pasokan minimal 1.000 ton sampah per hari. Dengan pasokan tersebut, PLTSa dapat menghasilkan listrik hingga 20 megawatt (MW).

        Teknologi Incinerator Jadi Solusi Konversi Sampah ke Listrik

        Untuk konversi sampah menjadi listrik, teknologi incinerator dipilih sebagai opsi utama. Teknologi incinerator adalah metode termal yang membakar sampah pada suhu tinggi untuk mengurangi volume limbah sekaligus menghasilkan energi.

        Panas pembakaran digunakan untuk memanaskan boiler dan menghasilkan uap bertekanan tinggi yang menggerakkan turbin listrik. Metode ini dapat menekan timbunan sampah hingga 90% dan dilengkapi sistem pengendalian polusi udara seperti filter dan scrubber, sehingga gas buang memenuhi baku mutu lingkungan.

        PLN Sebagai Offtaker

        Sejalan dengan penugasan pemerintah, PT PLN (Persero) menegaskan komitmennya mendukung percepatan realisasi PSEL melalui kolaborasi erat bersama pemerintah daerah dan Danantara. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menegaskan PLN siap menjalankan peran sebagai offtaker dalam proyek pembangunan PLTSa.

        “Ini tugas pemerintah. Kami siap melakukan apa pun untuk pemerintah. PLN adalah perusahaan BUMN yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Maka dengan adanya Perpres WTE, kami siap menjalankan apa pun untuk pemerintah,” tegas Darmawan.

        Darmawan menjelaskan bahwa pembangunan PLTSa akan dikoordinasikan oleh Danantara, sementara PLN memastikan penyerapan listrik dari PLTSa sesuai arahan Perpres, yakni sekitar US$0,20 per KWh.

        “Namun, yang terpenting adalah PLTSa ini secara technical feasible dan commercially available. Jika layak, kami berharap proyek ini segera dieksekusi. Penekanan utamanya bukan pada produksi listrik, melainkan pada peningkatan kualitas lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan warga,” pungkas Darmawan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: