Kredit Foto: Istimewa
Direktur External Relation CNGR Indonesia, Magdalena Veronika, menyebut Indonesia telah berhasil membangun rantai pasok nikel yang solid di dalam negeri.
Ia menegaskan bahwa keberhasilan ini membuat nikel Indonesia kini menjadi nomor satu di dunia, mengalahkan Australia sebagai produsen besar lainnya.
“Dibandingkan dengan Australia yang memiliki jenis tambang nikel sulfida, Indonesia yang punya nikel laterit itu jauh lebih kompetitif untuk harga produksinya,” ujar Magdalena dalam sesi diskusi Minerba Convex 2025 di Jakarta, Kamis (16/10).
Menurutnya, capaian ini tidak lepas dari efektivitas penerapan teknologi pengolahan nikel yang terus berkembang di Indonesia.
Baca Juga: ESDM Kirim Tim Investigasi ke IMIP Usai Kebakaran Fasilitas Pabrik Nikel
Pada awalnya, teknologi yang digunakan untuk mengolah nikel adalah Rotary Kiln Electric Furnace(RKEF) untuk memproduksi nickel pig iron (NPI), feronikel, hingga nickel matte yang menjadi salah satu bahan baku penting dalam industri baterai litium.
Namun, seiring waktu, hadir teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang memungkinkan pengolahan nikel berkadar rendah menjadi produk bernilai tinggi.
“Nikel yang amat sangat rendah, yang tadinya kita pikir dalam produksi tambang itu sampah, bahkan jadi penalti. Tapi dengan teknologi HPAL, nikel kadar rendah itu bisa menjadi produk bernilai tinggi, bahkan untuk ekosistem baterai litium,” jelasnya.
Magdalena menambahkan, efektivitas teknologi tersebut menjadi fondasi utama yang menjadikan Indonesia sebagai pemain dominan dalam rantai pasok nikel dunia.
Baca Juga: Tambang Nikel Dongkrak Ekonomi Warga, Ini Buktinya!
“Otomatis itu menciptakan Indonesia dengan bahan yang bisa dibilang sangat murah, ternyata bisa menciptakan value yang sangat tinggi. Bisa menjadi alloy nickel yang murni dan juga bahan baku untuk EV,” sambungnya.
Meski demikian, dominasi Indonesia dalam industri nikel global turut mempengaruhi harga komoditas tersebut yang cenderung turun dalam lima tahun terakhir. Penurunan harga ini, kata Magdalena, disebabkan oleh efisiensi rantai pasok nikel yang sudah sangat baik dari hulu ke hilir.
“Saat ini harga nikelnya tetap di US$15.500 per ton. Jadi, sebenarnya kita ada opportunity untuk mendapatkan sisa sekitar US$2.000 tadi, itu sebenarnya ada di tangan Indonesia dan bagaimana Indonesia bisa meregulasi,” ujarnya.
Ia menilai, dengan kemampuan pengolahan yang efisien dan struktur biaya produksi yang rendah, Indonesia sebenarnya memiliki ruang untuk menjual nikel pada harga yang lebih tinggi.
Baca Juga: Potensi Nikel Menjanjikan tapi Tetap Perlu Taat Aturan
“Kalau alloy nickel yang dijual Australia berada di level US$19.000 per ton, Indonesia masih bisa untung jika mematok harga US$18.000 per ton. Tapi hal itu tidak dilakukan karena saat ini nikel Indonesia sedang dalam kondisi oversupply,” pungkas Magdalena.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: