Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemulia Tanaman Garda Depan Ketahanan Pangan Nasional

        Pemulia Tanaman Garda Depan Ketahanan Pangan Nasional Kredit Foto: Ist
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketahanan pangan Indonesia menghadapi ancaman serius. Dengan proyeksi penduduk mencapai lebih dari 320 juta jiwa pada 2050, negeri ini dituntut menggandakan produksi pangan di tengah tekanan perubahan iklim dan degradasi lahan. Para ahli menilai, kunci utama ada di tangan para pemulia tanaman yang mampu menciptakan varietas unggul adaptif terhadap iklim ekstrem, hama, dan penyakit.

        “Peran pemuliaan tanaman sangat sentral terhadap peningkatan kualitas dan produktivitas pertanian,” ujar Ketua Umum Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), Profesor Muhamad Syukur, kepada media, Jumat (17/10).

        Ia menegaskan, tanpa pemuliaan, revolusi hijau yang pernah meningkatkan produktivitas padi hingga sepuluh kali lipat tidak akan pernah terjadi. Dulu, varietas gandum berumur pendek hasil pemuliaan ilmiah menjadi tonggak peningkatan produksi pangan dunia. Kini, tantangan serupa muncul kembali dalam konteks perubahan iklim.

        Baca Juga: Perkuat Ketahanan Pangan dan Energi Desa, Pertamina Hadirkan DEB di Desa Lebak Gede

        Penelitian menunjukkan, produktivitas padi di Asia Tenggara bisa turun 10–20 persen akibat perubahan iklim jika tidak diimbangi inovasi adaptif seperti varietas tahan kekeringan dan banjir. Namun, Indonesia justru menghadapi kekurangan tenaga pemulia tanaman.

        “Idealnya satu pemulia melayani sekitar 3.000 petani. Dengan 30 juta petani, kita butuh sekitar 10 ribu pemulia. Saat ini yang terdaftar di PERIPI hanya sekitar 1.000 orang, dan yang benar-benar aktif mungkin seperempatnya,” ujar Prof. Syukur.

        Kondisi tersebut diperparah oleh minimnya minat generasi muda. Bidang ini dianggap sulit, berproses panjang, dan kurang menjanjikan secara finansial. Padahal, pemulia tanaman dituntut menguasai genetika, statistik, dan bertahan di lapangan. “Untuk mempercepat kemajuan, pemerintah perlu membuka kembali formasi dosen pemulia, program studi S1 pemuliaan tanaman, serta memperluas magang industri benih agar lulusan siap kerja,” jelasnya.

        Selain penguatan pendidikan, dukungan insentif juga dinilai krusial. Salah satunya melalui ajang Indonesian Breeder Award (IBA) 2025 yang akan digelar pada November 2025. Penghargaan ini diberikan kepada individu atau lembaga yang berhasil mengembangkan inovasi varietas, teknologi pemuliaan, atau sumber daya genetik yang berdampak luas bagi petani dan ketahanan pangan nasional.

        Kendala lain yang tak kalah penting adalah pendanaan riset yang belum berkelanjutan. “Pemuliaan tanaman tidak bisa berhenti di tengah jalan karena prosesnya panjang. Tapi setiap tahun, pemulia harus bersaing untuk mendapatkan dana baru. Ini membuat riset sulit berkelanjutan,” ujar Prof. Syukur menambahkan.

        Baca Juga: Inisiatif dan Peran Polri di Program Ketahanan Pangan yang Jadi Unggulan Prabowo

        Senada dengan itu, Guru Besar IPB University, Prof. Bayu Krisnamurthi, menilai riset pemuliaan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran. Dalam pertemuannya dengan asosiasi perusahaan benih hortikultura Hortindo, ia menegaskan pentingnya menciptakan ekosistem investasi yang mendukung riset benih dalam negeri.

        “Riset pemuliaan adalah investasi strategis. Kalau kita ingin kedaulatan pangan, kita harus menyiapkan kondisi agar investasi ini tumbuh dan berkelanjutan,” kata Bayu.

        Bagi para ahli, ketahanan pangan bukan sekadar kemampuan memproduksi bahan makanan, tetapi memastikan seluruh rakyat dapat mengakses pangan bergizi di tengah perubahan iklim global. Karena itu, keberpihakan pada riset pemuliaan tanaman tak lagi menjadi pilihan, melainkan keharusan. Dari tangan para pemulia inilah masa depan pangan Indonesia bertumbuh.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: