Analisis Big Data Continuum INDEF Ungkap Sentimen Positif Publik pada Putusan MK Soal Larangan Polisi Aktif Rangkap Jabatan Sipil
Kredit Foto: Istimewa
Continuum INDEF merilis hasil analisis big data terkait respons publik atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota kepolisian aktif menduduki jabatan sipil.
Temuan ini dipaparkan dalam Diskusi Publik Continuum INDEF bertema “Polemik Putusan MK: Polisi Aktif Dilarang Rangkap Jabatan Sipil”, menghadirkan Business Head Continuum INDEF Arini Astari dan Ekonom Senior INDEF Prof. Dr. Didik J. Rachbini, serta dimoderatori Business Development Continuum INDEF, Felia Pratikasari.
Arini Astari memaparkan bahwa studi Continuum INDEF menghimpun 11.636 percakapan publik di media sosial sepanjang 13-17 November 2025, mencakup 8.165 percakapan di X/Twitter dan 3.471 di YouTube. Seluruh data telah dibersihkan dari akun buzzer dan akun media untuk memastikan analisis hanya memuat opini publik organik.
Analisis dilakukan menggunakan metode pemetaan topik, pengukuran sentimen, dan penghitungan eksposur perbincangan. Hasilnya menunjukkan 83,96% sentimen publik bernada positif, sedangkan sentimen negatif hanya 16,04%.
Menurut Arini, tingginya dukungan tersebut tidak lepas dari kejenuhan netizen terhadap praktik rangkap jabatan di berbagai instansi. Publik menilai putusan MK sebagai “angin segar” dalam perbaikan birokrasi dan penegakan supremasi sipil. Banyak netizen juga mendorong agar putusan tersebut segera diimplementasikan secara konsisten.
Baca Juga: Pekerja Digital Butuh Perlindungan, INDEF Desak Regulasi Tegas
Continuum INDEF mencatat tiga narasi besar dalam klaster positif:
- Putusan MK dianggap progresif dan relevan dengan semangat reformasi.
- Langkah nyata reformasi kepolisian, khususnya untuk mengurangi risiko abuse of power, konflik kepentingan, serta memperjelas batas antara fungsi penegakan hukum dan jabatan administratif.
- Penguatan supremasi sipil, dengan harapan tata kelola negara menjadi lebih sipil, transparan, dan akuntabel.
Meski dominan positif, sekitar 16,04% percakapan bernada kritis. Publik menyuarakan tiga kekhawatiran utama:
- Konsistensi regulasi antarinstansi, dengan desakan agar larangan rangkap jabatan juga diberlakukan pada lembaga lain agar tidak menimbulkan kesan tebang pilih.
- Potensi kecemburuan antarinstansi, terutama jika kebijakan hanya diterapkan pada kepolisian.
- Penolakan umum terhadap rangkap jabatan, yang dianggap mengurangi kesempatan bagi SDM lain serta membuka ruang konflik kepentingan.
Beberapa lembaga juga ikut disorot publik. TNI menjadi instansi paling banyak disebut, dengan tuntutan agar larangan bagi militer aktif menduduki jabatan sipil ditegakkan lebih tegas. KPK dan BNN dibahas dalam konteks evaluasi kinerja serta etika jabatan publik, sementara DPR memperoleh sorotan terkait integritas lembaga negara secara umum.
Arini merangkum bahwa publik secara dominan mengapresiasi putusan MK sebagai langkah penting reformasi kepolisian dan perbaikan tata kelola birokrasi. Namun, netizen tetap menuntut konsistensi penerapan aturan di seluruh instansi negara seperti TNI, KPK, BNN dan DPR.
Ekonom Senior INDEF Prof. Dr. Didik J. Rachbini menyoroti konteks sosial politik lebih luas. Menurutnya, kehidupan sosial politik dan ekonomi Indonesia ke depan akan sangat ditentukan oleh perkembangan Artificial Intelligence, Big Data, dan Robotika.
Terkait putusan MK, Didik menilai larangan tersebut merupakan penanda penting. Ia menyebut bahwa pada era pemerintahan sebelumnya, institusi kepolisian terlihat dimanfaatkan secara politik oleh Presiden Joko Widodo. Padahal, sejak Reformasi 1998, larangan anggota militer dan kepolisian menjabat posisi sipil sudah ditegaskan, dan mereka yang ingin berkarier di politik seharusnya pensiun terlebih dahulu.
Didik juga menyoroti langkah Presiden Prabowo yang membentuk Tim Reformasi Kepolisian sebagai respons terhadap tuntutan publik. Namun, ia mengkritik komposisi tim yang dinilai terlalu didominasi figur-figur dari internal kepolisian.
Menurutnya, temuan riset Continuum INDEF yang menunjukkan tingginya dukungan publik terhadap putusan MK harus menjadi perhatian serius pemerintah dalam mendorong reformasi yang lebih substansial.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat