Indonesia Dibidik Pasar Premium, Perikanan Huhate Dinilai Kunci Daya Saing Tuna Nasional
Kredit Foto: Indonesia Tuna Consortium
Indonesia memperluas peluang ekonomi di pasar global melalui penguatan perikanan huhate atau pole & line sebagai metode penangkapan tuna berkelanjutan yang makin dicari pasar premium dunia. Dalam diskusi Hari Perikanan Sedunia pada Jumat, 21 November 2025, Tuna Consortium (TC) dan Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) menegaskan bahwa teknik tradisional ini menjadi faktor penting untuk mempertahankan daya saing ekspor tuna Indonesia yang nilainya mencapai US$680 juta pada 2022.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan permintaan tuna berkelanjutan tumbuh lebih dari 15% per tahun di Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, hingga Inggris. Di pasar Eropa dan Inggris, kebutuhan tuna yang ditangkap dengan huhate mencapai lebih dari 26.000 metrik ton (MT) dan diproyeksikan terus meningkat. Tingginya permintaan membuka ruang ekonomi yang besar bagi Indonesia sebagai produsen tuna terbesar dunia.
TC dan AP2HI menilai huhate memberi nilai strategis bagi ekosistem laut sekaligus ekonomi pesisir karena teknik memancing satu per satu ini minim bycatch, menjaga stabilitas stok tuna, dan menghasilkan kualitas ikan yang lebih tinggi. Tradisi penangkapan yang telah berlangsung puluhan tahun ini juga memberi keunggulan kompetitif dalam memenuhi standar keberlanjutan yang kini menjadi syarat akses ke pasar global.
Baca Juga: Dua Teknologi Ini Dapat Diadopsi Pelaku Usaha Perikanan untuk Tingkatkan Produksi
“Huhate bukan hanya warisan budaya, tetapi juga aset ekonomi yang membuka peluang besar bagi masyarakat pesisir dan industri tuna nasional melalui pemenuhan standar keberlanjutan global yang kini menjadi syarat utama akses pasar,” ujar Thilma Komaling, Program Lead Indonesia Tuna Consortium. Ia menambahkan bahwa metode ini menciptakan lapangan kerja berkelanjutan, meningkatkan pendapatan nelayan, serta memperkuat rantai pasok yang kredibel.
Ketua AP2HI, Abrizal Andrew Ang, menyampaikan bahwa sebagian besar operasi pole & line dijalankan oleh pelaku usaha kecil dan menengah yang mengandalkan tenaga kerja lokal. Setiap aktivitas penangkapan dengan teknik ini memberikan multiplier effect bagi komunitas pesisir, mulai dari sektor penangkapan, pengolahan, hingga distribusi.
Menurutnya, produk tuna huhate bahkan memiliki harga jual 15–30% lebih tinggi di pasar ekspor karena memenuhi standar keberlanjutan. “Ketika kita mendukung huhate, kita tidak hanya menjaga keberlanjutan stok tuna, tetapi juga memastikan ribuan keluarga nelayan memperoleh pendapatan stabil dan memiliki peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya,” ujarnya.
Baca Juga: Status Objek Vital Nasional Pelabuhan Perikanan Bukan Sekadar Pengakuan
TC dan AP2HI menekankan bahwa penguatan perikanan berkelanjutan menjadi fondasi penting bagi ketahanan ekonomi jangka panjang. Dengan mempromosikan pole & line berbasis sains dan ramah lingkungan, Indonesia dinilai dapat mempertahankan posisinya sebagai pemasok tuna berkelanjutan di rantai pasok internasional. Pendekatan ini juga memperkuat posisi Indonesia di industri perikanan bernilai tinggi serta mendukung ketahanan pangan nasional.
Melalui kegiatan diskusi tersebut, kedua lembaga berharap media dapat menjadi mitra strategis dalam memperluas pemahaman publik mengenai manfaat ekonomi dari praktik penangkapan tradisional yang bertanggung jawab. Narasi mengenai huhate sebagai tradisi yang mendukung ekonomi pesisir dan menjaga kesehatan ekosistem laut dinilai penting untuk mendorong adopsi lebih luas oleh pemangku kepentingan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri