Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Survei Segara Ungkap Mayoritas Peminjam Pindar Utamakan Kecepatan dan Kemudahan, Bukan Suku Bunga

        Survei Segara Ungkap Mayoritas Peminjam Pindar Utamakan Kecepatan dan Kemudahan, Bukan Suku Bunga Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Segara Research Institute telah merilis hasil survei yang melibatkan 2.119 responden, dilaksanakan sepanjang periode Juni hingga Juli 2025. Penelitian ini menjangkau 20 kabupaten/kota di 7 provinsi dan bertujuan mengamati perilaku peminjam saat memilih berbagai sumber pembiayaan. Secara spesifik, survei ini menganalisis sejauh mana pengaruh faktor suku bunga dan faktor non-suku bunga terhadap keputusan peminjam serta kelancaran mereka dalam melunasi pinjaman.

        Piter Abdullah Redjalam, selaku Direktur Eksekutif Segara Research Institute, memaparkan temuan penting dari studi ini. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam menentukan sumber pembiayaan, pertimbangan utama mayoritas responden adalah kecepatan pencairan dana dan kemudahan persyaratan. Kecepatan pencairan dana menjadi alasan 73,5% responden memilih pindar, sedangkan kemudahan persyaratan menjadi pertimbangan bagi responden yang meminjam dari perusahaan tempat bekerja (62,5%), pegadaian (59,1%), dan rentenir (45,0%).

         “Kecepatan dan kemudahan menjadi pertimbangan utama mengindikasikan adanya kebutuhan dana yang mendesak di masyarakat sehingga besarnya suku bunga atau biaya pinjaman tidak menjadi sesuatu yang penting.”  ungkap Piter Abdullah, Jakarta, Selasa (9/12/2025).

        Baca Juga: Guru Besar USU Komentari Sorotan pada Penetapan Suku Bunga Pindar oleh Asosiasi Fintech

        Ia menambahkan, dalam survei ini juga merekam adanya responden yang mengalami skema pembayaran tadpole, yakni pembayaran cicilan yang lebih besar di awal dan semakin mengecil pada periode berikutnya. Dalam beberapa kasus, porsi terbesar di awal tersebut tidak hanya terjadi dari sisi jumlah pembayaran, tetapi juga frekuensi pembayaran yang lebih sering, sehingga tekanan cicilan lebih berat pada awal tenor.

        Hasil in-depth interview menunjukkan bahwa responden yang mengalami skema pembayaran tadpole adalah mereka yang benar-benar dalam posisi terdesak, membutuhkan uang segera untuk menutup kebutuhan darurat seperti keluarga sakit atau biaya pendidikan anak.

        “Karena situasi yang sangat darurat tersebut mereka tidak menyadari atau tidak mempedulikan bahwa skema pembayaran dari pinjaman yang mereka setujui akan merugikan mereka,” tambahnya.

        Survei juga mengungkap temuan penting lainnya terkait suku bunga. Lebih dari separuh responden (51,08%) merasa bunga pinjaman yang mereka bayarkan tergolong cukup rendah dan tidak memberatkan. Menurut Piter, temuan ini agak bertentangan dengan asumsi awal, tetapi fakta hasil survei menunjukkan hal tersebut. Temuan ini sesungguhnya menegaskan temuan sebelumnya terkait pertimbangan pemilihan sumber pembiayaan, di mana faktor suku bunga tidak menjadi pertimbangan utama.

        Sumber pembiayaan seperti bank, perusahaan atau koperasi pegawai, atau pegadaian/LKBB secara umum dipersepsikan memiliki bunga yang rendah. Mayoritas responden dari ketiga sumber ini menyatakan bunga yang dikenakan cukup rendah, dengan persentase masing-masing 65,52% untuk bank, 64% untuk perusahaan, dan 77,42% untuk pegadaian. Namun hasil berbeda didapatkan untuk Rentenir dan Pindar. Mayoritas peminjam dari rentenir dan pindar merasa bahwa suku bunga yang mereka bayarkan tinggi dan membebani (masing-masing 60,87% dan 56,17%).

        Meskipun bunga Pindar dipersepsikan tinggi dan membebani, masyarakat tetap memilih Pindar dan sebagian besar menyatakan puas atas layanan Pindar. Sementara Bank dan Lembaga Keuangan non-Bank seperti Pegadaian, meskipun dipersepsikan berbunga rendah, tidak menjadi pilihan utama karena dianggap memiliki persyaratan yang tidak mudah.

        Hasil survei juga menunjukkan meskipun bunga Pindar dipersepsikan tinggi tetapi hampir seluruh peminjam pindar (96,85%) mampu membayar cicilan pokok dan bunga secara lancar 62.52% atau minimal kurang lancar (34.33%). Sementara yang menyatakan pembayaran cicilannya macet hanya sebesar 3.15%.

        Baca Juga: Marak Love Scam dan Pinjol Fiktif, Kerugian Tembus Rp7,3 Triliun

        Sejalan dengan hasil temuan survei di atas, dalam rangka mendorong pembiayaan digital Piter Abdullah merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

        Pertama, kebijakan pembatasan suku bunga dengan kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter yang dapat meningkatkan likuiditas perekonomian, yang pada gilirannya akan mendorong terbentuknya suku bunga yang efisien dan kompetitif.

        Kedua, menimbang bahwa pembiayaan digital (Pindar) memiliki peran penting bagi masyarakat, khususnya bagi para pelaku UMKM, regulator hendaknya lebih mengutamakan edukasi yang meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pembiayaan digital, bukan pada pengaturan suku bunga. Peningkatan pemahaman ini termasuk juga dalam membedakan Pindar dan pembiayaan digital Ilegal (Pinjol), yang pada gilirannya akan dapat menghilangkan stigma terhadap pembiayaan digital. Regulator juga diharapkan meningkatkan penegakkan hukum dalam rangka perlindungan konsumen atas kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh pembiayaan digital illegal (pinjol).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: