Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengembangan Kasus Suap Kajati Tunggu Putusan Hakim

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengembangan perkara upaya suap kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu, menunggu putusan hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Kita tunggu putusan hakim. Menurut hakim seperti apa. Kita sudah berusaha seperti ini di sidang. Ini ada (perbuatan) Pak Sudung, tapi sampai di situlah kita tunggu putusan hakim," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Irene Putri seusai sidang pembacaan tuntutan di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/8/2016).

Pada hari ini, JPU KPK menuntut Direktur Keuangan dan "Human Capital" PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko 4 tahun penjara, Senior Manager perusahaan tersebut Dandung Pamularno dituntut 3,5 tahun penjara dan perantara suap Marudut Pakpahan juga dituntut 4 tahun penjara karena bermufakat untuk menyuap Sudung dan Tomo agar menghentikan penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya yang dalam pemahaman Sudi dan Dandung sudah masuk dalam tahap penyidikan.

Namun jaksa menilai tidak ada kesepakatan antara Tomo dan Sudung untuk menerima uang dan meloloskan permintaan Sudi, Dandung dan Marudut tersebut sehingga tuntutan diajukan berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaiamana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 53 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP Sebagaimana dalam dakwaan kedua. Pasal 53 KUHP mengatur bahwa perbuatan pidana pokok dalam pasal 5 tersebut belum selesai.

"Yang sepakat itu antara Sudi, Dandung dan Marudut, sepakat mau menyuap Kajati DKI. Tapi antara Marudut dan Kajati itu belum selesai. Yang ada baru persepsi Marudut mengenai pemberian bantuannya apa. Tomo mengatakan di sidang bantuan itu datang ke Kejati untuk kasih keterangan, menurut Tomo begitu. Nah si Marudut mempersepsikan minta uang. Di sini tidak ada Marudut bilang Pak nanti ada uangnya ya, terus yang sana bilang oh ya sudah nanti bisa dihentikan, tapi di sini tidak ada," tambah Irene.

Meskipun ada peringatan dari Sudung kepada Marudut pada hari Operasi tangkap Tangan (OTT) KPK pada 20 April 2016 yang menyampaikan Unang ro saonari mumdur adong info naso denggan hati-hati' yang artinya jangan datang sekarang ada info yang kurang baik hati-hati, hal itu belum menjadi bukti yang kuat untuk menjerat penerima suap.

"Itu persepsi, kita yang mempersepsikan. Itu tidak membuktikan Sudung sepakat ada uang. Sampai di situ saja. Ada rencana datang iya, tapi rencana memberikan uang itu baru dari sisi Marudut tapi yang di sana belum tahu kalau datang mau kasih uang," ungkap Irene.

Namun ketiganya tetap dituntut maksimal dari pidana pokok pasal 5 ayat 1 huruf a yaitu maksimal 5 tahun penjara meski pasal 53 ayat 2 KUHP menyatakan "Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga" karena dinilai sebagai makelar perkara.

"Makanya kita jelaskan berdasarkan pasal 15 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, orang yang bermufakat saja hukumannya sama dengan yang sudah selesai melakukan, tapi maksimal tetap lima tahun. Kenapa kita tuntut tinggi karena orang ini makelar. Merusak kejaksaan. Di sana belum sepakat, dia sudah ngotot minta uang," tegas jaksa Irene.

Pasal 15 berisi setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Atas tuntutan ini, Sudi dan Dandung akan menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada 26 Agustus 2016. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: