Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Meramu Mimpi di Balik Dapur Majikan

Meramu Mimpi di Balik Dapur Majikan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Banyak perempuan di Indonesia yang terpaksa bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) karena tidak memiliki akses untuk mengenyam pendidikan. Kondisi ekonomi keluarga juga jadi salah satu faktor pendorong mereka bekerja sebagai PRT.

Salah satu pekerja rumah tangga anak, Indah, mengatakan dirinya terpaksa bekerja di Jakarta karena dirinya harus kehilangan sosok ayah semenjak dirinya berusia balita. Akibatnya, ia terpaksa berhenti sekolah untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Aku hanya orang biasa. Aku tidak punya ayah dari sejak aku bayi. Aku hidup berdua bersama ibuku," katanya kepada Warta Ekonomi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Indah mengatakan dirinya hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar (SD). Ia bekerja pada usia lima belas tahun dan saat itu tidak memiliki keterampilan yang banyak. Perempuan kelahiran tahun 1999 ini bekerja di salah satu rumah di wilayah Cilandak, Jakarta Selatan, untuk mengurus pekerjaan sehari-hari di rumah tersebut.

"Setiap hari aku mengurusi anak pemilik rumah dan antar jemput mereka ke sekolah. Aku juga memasak, menyapu, mengepel, hingga mengelap barang-barang rumah tangga. Itulah pekerjaan sehari-hariku," ujarnya.

Sebagai pekerja informal, ia menyampaikan dirinya tidak memiliki jaminan kesehatan serta jaminan ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, perempuan yang bekerja semenjak tahun 2014 ini selalu berharap dirinya tidak tertimpa musibah penyakit.

"Aku pernah sakit, tapi aku berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Aku tidak mau majikanku repot gara-gara diriku. Aku tidak mau ibuku tahu aku sakit," sebutnya.

Disampaikan, salah satu pendorong dirinya tetap kuat bekerja di rumah orang lain adalah niat untuk membantu dan membahagiakan ibunya. Jika merasa sangat letih dan lelah karena bekerja seharian, ia mengatakan dirinya selalu teringat pada sosok ibunya.

"Aku bekerja untuk membantu orang tua agar kehidupannya lebih baik. Aku hidup berdua bersama ibuku. Aku hanya ingin membahagiakan ibuku karena yang paling penting di dunia ini hanyalah kebahagiaan ibuku," tuturnya.

Meramu Mimpi

Keinginan untuk membantu kehidupan keluarga juga menjadi pendorong salah satu PRT yang bekerja di Jakarta, S (48 tahun). Sama seperti Indah, ia mengatakan dirinya ditinggal sosok ayah yang meninggal dunia saat dirinya masih berusia anak-anak. Setelah lulus SD ia terpaksa pergi ke Jakarta untuk bekerja karena harus membantu ibunya serta tiga adiknya.

"Bapak meninggal waktu saya kecil. Ibu jadi janda dan anaknya banyak, saya enam bersaudara. Adik saya tiga, jadi harus kerja bantu adik-adik saya. Saya ikut saudara kerja di Jakarta. Kalau lanjut sekolah, tidak ada biaya. Juga kasihan ibu sendirian kerja padahal adik-adik saya juga perlu biaya hidup," ujarnya.

S menyampaikan dirinya hampir tidak pernah menerima uang gajian bulanan karena selalu langsung diberikan kepada ibunya. Ia menyebutkan bahwa dari uang gajian tersebut ibunya bisa menyekolahkan adik-adiknya.

"Saya tidak sekolah tak apa-apa, yang penting adik-adik saya bisa sekolah. Saya mau mereka semua bisa sekolah sampai tinggi agar bisa mencari pekerjaan yang layak, agar bisa pintar dan hidup berkecukupan," tuturnya.

Adapun, salah satu tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang bekerja di Malaysia, Juwita Vesa, mengatakan dirinya terpaksa bekerja hingga ke luar negeri agar bisa melanjutkan kuliah. Ia mengatakan pilihannya bekerja di Malaysia adalah karena penghasilan yang didapatkan di negeri Melayu tersebut lebih besar apabila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari bekerja di Tanah Air.

"Saya bisa dibilang terpaksa bekerja ke luar negeri karena demi mengejar cita-cita. Selama bekerja di luar negeri gaji saya kumpulkan buat masuk universitas. Kan, bagus itu kuliah pakai uang hasil kerja sendiri," kata Juwita.

Ia mengatakan perjuangan untuk mengumpulkan modal pendidikan selama bekerja di Malaysia tidak semudah yang dibayangkan. Ia mengakui gaji yang diterima setiap bulan lebih besar, tetapi ia masih harus menyisihkan penghasilan tersebut buat dikirim ke orang tuanya di Tanah Air.

"Tiap bulan saya masih harus kirim uang ke Indonesia, ke orang tua saya. Saya juga masih punya adik-adik yang perlu biaya buat sekolah," ujarnya.

Juwita menjelaskan bekerja di negeri orang lain yang jauh dari keluarga menjadi tantangan tersendiri baginya. Apalagi, imbuhnya, keterampilan kerja yang ia miliki terbatas sehingga kerap melakukan kesalahan kerja yang membuat atasan marah.

"Kerja saya bersih-bersih rumah sama bantu-bantu di kedai makan. Selama satu setengah tahun bekerja di Malaysia saya sering kena marah sama bos," jelasnya.

Tanpa Keterampilan

Pekerja rumah tangga, khususnya yang hanya lulusan SD, kerap tidak memiliki keterampilan sama sekali sehingga menjadi kendala saat bekerja.

S mengatakan dirinya tidak memiliki keterampilan sama sekali ketika pertama kali bekerja di Jakarta. Bahkan, ia mengatakan bahasa Indonesia yang dimiliki juga tidak cukup lancar sehingga menjadi kendala saat bekerja.

"Jadi, kerjanya tiap subuh mengurus pekerjaan rumah. Di tempat kerja itu ada dua anak kecil jadi setelah pekerjaan rumah beres langsung momong mereka berdua. Terus bekerja sampai sore baru istirahat. Kadang capek dan ingin pulang ke rumah, tapi karena tidak bisa bahasa Indonesia jadi diam saja," tuturnya.

Disebutkan, dirinya dididik oleh seniornya yang juga pekerja rumah tangga untuk mengetahui bagaimana cara bekerja di rumah tersebut. Akhirnya, ia merasa seperti memiliki dua majikan yang kadang si senior lebih galak dan penyuruh daripada si pemilik rumah.

"Kadang sedih kalau ingat, dulu sampai-sampai mau minta makan pun tidak bisa. Makan dipisah, yang dikasih apa saja dimakan. Disuruh ini, disuruh itu. Nurut saja," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Direktur ILO di Indonesia, Michiko Miyamoto menyatakan pekerjaan rumah tangga merupakan sumber pekerjaan penting bagi jutaan anak-anak perempuan dan perempuan. Ia mengatakan PRT memberikan layanan penting bagi orang lain agar dapat bekerja di luar rumah.

"Pengembangan keterampilan dan pengakuan profesi PRT memainkan peran penting dalam mempromosikan pekerjaan layak untuk PRT. Pelatihan keterampilan dan sertifikasi berdasarkan standar kompetensi nasional dapat membantu meningkatkan status PRT sebagai profesi yang diakui. Ini pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan kerja PRT dan prospek mereka atas pekerjaan yang lebih baik," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: