Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dampak Ekonomi Kebijakan Reklasifikasi Mitra Platform Menjadi Karyawan

Dampak Ekonomi Kebijakan Reklasifikasi Mitra Platform Menjadi Karyawan Kredit Foto: Antara/Aji Styawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemaksaan kebijakan ketenagakerjaan pada sektor mobilitas dan pengantaran digital dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap ekonomi Indonesia.

Reklasifikasi mitra menjadi karyawan platform atau memaksakan pemberian manfaat setara karyawan, dapat menurunkan pendapatan jutaan UMKM yang bergantung pada platform digital, bahkan meningkatnya pengangguran.

Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara menyebut, kebijakan ini akan menghilangkan kemampuan platform digital sebagai bantalan ekonomi nasional.

Efek domino dari kebijakan ini termasuk memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional, menimbulkan gejolak sosial politik, dan turunnya kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri, terutama di masa perekonomian dunia yang menantang saat ini. 

Agung mengungkapkan, saat ini industri ojol, taksol, dan kurol berkontribusi sebesar 2% PDB. Perubahan status menjadi karyawan akan mengakibatkan beberapa kemungkinan seperti; hanya sebagian kecil dari mitra pengemudi yang bisa terserap (diperkirakan hanya 10-30% mitra yang terserap, atau 70-90% tidak memiliki pekerjaan).

Penurunan aktivitas ekonomi digital yang berujung pada penurunan PDB sebesar 5.5% dan 1.4 juta orang kehilangan pekerjaan. Dan dampak total pada perekonomian Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 178 triliun, yang mencakup efek lanjutan di sektor lain. 

Wacana untuk menjadikan mitra pengemudi dan mitra kurir sebagai pegawai tetap sudah banyak terjadi di berbagai negara, namun hal tersebut bukan berarti serta merta merupakan kebijakan yang harus diikuti oleh Indonesia.

"Kita justru dapat melakukan regulatory impact assessment apakah kebijakan-kebijakan tersebut efektif menjawab permasalahan yang ada," tambahnya.

Beberapa negara telah mereklasifikasi Mitra Platform menjadi Karyawan maupun memberikan klasifikasi sendiri namun dengan hak dan manfaat yang menyerupai karyawan. Namun reklasifikasi tersebut justru menimbulkan beberapa risiko seperti; jumlah mitra pengemudi yang semakin menyusut, harga layanan yang semakin naik, dan perkembangan UMKM menjadi tersendat. 

”Jumlah mitra pengemudi menyusut, seperti terjadi di Spanyol, dengan penduduk 48 juta jiwa, aplikasi Uber melakukan putus mitra pengemudi, berakibat Aplikasi Deliveroo hengkang, dan Aplikasi Glovo hanya mampu menyerap sebagian, sehingga 83% mitra diputus mitra dan tidak memiliki kesempatan pendapatan,” ujar Agung Yudha, memberikan contoh. 

Tidak hanya itu, kondisi tersebut juga memberikan dampak langsung terhadap perkembangan ekonomi, seperti; pelanggan yang kehilangan akses layanan, penurunan pendapatan, hingga efek sosial dan tenaga kerja, bahkan ada efek domino ke sektor lain seperti restoran, toko, dan layanan logistik yang mengandalkan delivery. 

”Dampak lebih jauh jika hal-hal tersebut terjadi, seperti investasi di Indonesia turun dikarenakan hilangnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri,” ujarnya.  

Lebih jauh, kebijakan tersebut juga dapat berdampak langsung terhadap ekonomi di Indonesia, seperti; konsumen yang mengandalkan delivery karena keterbatasan mobilitas, dan jika layanan delivery mencakup makanan, obat-obatan, atau kebutuhan pokok, maka risiko krisis logistik bisa meningkat, apalagi di daerah terpencil atau saat ada bencana/krisis.

Kondisi tersebut tentu saja juga akan berdampak pada penurunan pendapatan, para pelaku usaha terutama UMKM yang menggunakan layanan pengantaran dan mobilitas digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas dari sekedar area mereka beroperasi. 

Bahkan dampak sosialnya, akan ada ribuan mitra pengemudi kehilangan penghasilan atau pekerjaan, karena serapan tenaga kerja pasti mengalami recruitment barrier, dan hanya sebagian kecil dari mitra pengemudi yang ada sekarang yang bisa terserap. 

”Diperkirakan hanya 10-30% yang terserap, atau terjadi penurunan sebesar 70-90%. Ini berarti potensi lonjakan pengangguran informal di kota besar, dan menambah beban negara,” ungkap Agung Yudha. 

Terakhir, jika melihat dampak multiplier ekonomi yang sering digunakan untuk perhitungan sektor jasa (umumnya antara 1.5 hingga 2.5), maka kita bisa memperkirakan efek ekonomi lebih lanjut. Misalnya, jika multiplier rata-rata= 2, maka 89 triliun × 2 = 178 triliun.

Itu artinya, dampak total pada perekonomian Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 178 triliun, yang mencakup efek lanjutan di sektor lain, seperti; UMKM yang bergantung pada pengiriman cepat, ekonomi digital dan jasa logistik lain, dan kehilangan pendapatan bagi pekerja di sektor terkait, yang berkurang daya belinya, yang selanjutnya berdampak pada konsumerisme dan sektor ritel.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: