Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mestinya, Indonesia Tak Perlu Impor Gas

Mestinya, Indonesia Tak Perlu Impor Gas PGN | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Don K Marut mengatakan Indonesia sebagai produsen gas terbesar di dunia seharusnya tidak perlu lagi mengimpor bahan bakar tersebut dari pasar luar negeri. Ia menyarankan produksi maupun cadangan yang ada di dalam perut bumi untuk kemakmuran Indonesia di masa yang akan datang.

"Kita tidak bisa menyaingi harga gas Rusia karena harganya sangat murah. Jadi produksi kita untuk kebutuhan dalam negeri saja," kata Don dalam diskusi bertajuk Perubahan Struktural Sosial Ekonomi Pascareformasi di Megawati Institute, Jakarta, Selasa (25/10/2016).

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) alokasi gas untuk dalam negeri pada 2016 mencapai 61 persen. Jumlah ini setara, 4,144 BBTUD, sedangkan gas yang diekspor sebanyak 2,561 BBTUD.

Sementara itu, pendiri INDEF Didin S Damanhuri mengatakan, untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia tidak cukup dengan paket kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Menurutnya, problem utama kita adalah ketimpangan. Memang, paket kebijakan itu untuk mempermudah investasi, namun justru menjadi tidak fokus arahnya. Termasuk, program tax amnesty yang digulirkan pemerintah.

"Solusinya adalah, bangun UKM. Bangun industrialisasi dalam negeri, hilirisasi. Itu tax amnesty buat apa, kalau alokasi anggaran hanya memperkuat oligarki enggak memecahkan masalah di Indonesia, kunci di Indonesia itu UKM," katanya.

Akan tetapi, lanjut Didin, pemerintah juga harus membangun UKM yang fokus pada bidang tertentu. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk membuat smart policy.

"SDM itu pasti, tapi ada tanggung jawab perusahaan, pemerintah infrastrukturnya. Karena kunci keberhasilan Korea Selatan itu keterampilanya," katanya

Ditambahkan Didin, ketimpangan yang terjadi di Indonesia sudah sangat bahaya, antara barat dan timur. Ia mengumpamakan Indonesia timur dan barat akan pecah seperti Pakistan dan Bangladesh apabila terus dilakukan pembiaran.

"Ketimpangan pangan, ketimpangan lahan, dua persen orang Indonesia kuasai 70 persen kuasai lahan mereka pemburu rente, bahaya ini," katanya.

Didin juga menambahkan konsep nawacita yang diusung juga melenceng dari tujuan semula. Ia tak menampik penyebabnya justru dari pihak pemerintah sendiri.

"Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tujuh persen, nyatanya lima persen. Pak Jokowi harus berani meluruskan, misalnya dana desa sudah tepat sekali, jangan sampai dana desa kembali ke kota kalau tidak ada frame work yang tepat, misal koperasi desa," imbuhnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: