Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mewujudkan Kemandirian Energi di Timur Indonesia

Mewujudkan Kemandirian Energi di Timur Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Selama ini rakyat di bagian timur Indonesia mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Bukan hanya persoalan harga yang tinggi, namun akses dan pasokan BBM juga jadi masalah penting di wilayah tersebut.

Salah satu warga Papua Barat, Bunga Vidanska, mengeluhkan sulitnya memperoleh BBM di kota tempat tinggalnya, Kota Manokwari. Ia mengatakan salah satu kesulitan yang dihadapi adalah minimnya jumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di kota tersebut.

"Di sini cuma ada empat SPBU dan SPBU enggak buka 24 jam. Di sini antara jumlah kendaraan dan SPBU itu tidak seimbang. Misalnya, SPBU maksimal melayani 10 motor per menit dan ini tuh bisa sampai 50 motor yang mengantre. Jadi, berkali-kali lipat seperti itu," katanya kepada Warta Ekonomi melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, akhir Oktober.

Bunga Vidanska mengatakan karena sulitnya memperoleh bensin di tempat penjualan resmi maka dirinya lebih memilih untuk membeli BBM di penjualan eceran. Ia mengakui harga jual bensin eceran jauh lebih mahal daripada di SPBU resmi.

"Lebih banyak yang jual bensin eceran di pinggir jalan. Apalagi, kalau butuh bensin saat beraktivitas di malam hari maka terpaksa beli bensin eceran yang harga jualnya lebih tinggi berkali-kali lipat dibanding harga SPBU," jelasnya.

Ia mengatakan bahwa di Papua Barat juga kerap terjadi kelangkaan pasokan BBM. Jika sudah terjadi kelangkaan, imbuhnya, harga BBM jenis premium di kota tersebut bisa melonjak hingga menembus harga Rp100 ribu per liter.

"Di sini hampir tidak ada pertamax dan pertalite. Kalau premium dan solar sering juga SPBU kehabisan stok. Kalau stok SPBU sudah habis nanti bensin di eceran juga cepat habis karena yang eceran membeli bensin dari SPBU," paparnya.

Perempuan yang lahir di Pulau Jawa ini menjelaskan persoalan aksesbilitas BBM semakin parah jika dirinya pergi ke luar kota. Ia menyebutkan dirinya harus membawa cadangan bensin di dalam jeriken jika tidak ingin kendaraannya kehabisan bensin di tengah jalan.

"Kalau pergi ke daerah terpencil parah sekali. Dari jarak belasan sampai puluhan kilo baru ditemukan SPBU dan itu belum tentu ada stok bensin. Jangankan SPBU, mau cari penjual eceran pun susah. Jadi, mobil di sini kebanyakan mobil ranger semua yang tangki besar. Kemudian di belakang kami juga sedia bensin cadangan di jerigen. Kalau terpaksa beli eceran, siap-siap saja keluar uang Rp50 ribu sampai Rp100 ribu buat beli bensin ukuran botol minum 1,5 liter," terangnya.

Adapun, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro mengakui bahwa saat ini distribusi BBM ke wilayah timur Indonesia, khususnya daerah terpencil, masih belum merata. Ia memberi contoh beberapa wilayah di Kalimantan Utara yang tidak mendapat pasokan BBM karena minimnya kesediaan infrastruktur logistik.

"Jadi, ada beberapa daerah di Kalimantan Utara itu mereka beli bensin dari Malaysia. Mereka selundupkan bensin itu pakai drum yang dibawa pakai motor dari Malaysia ke Indonesia. Bayangkan, pakai motor lewat jalan tanah seperti itu. Harga dari Malaysia Rp60 ribu per liter. Jadi, mau jual berapa di Indonesia? Jual Rp100 ribu pun tetap ada yang beli karena memang langka," tuturnya.

Memperlancar Distribusi

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan pihaknya memiliki komitmen kuat buat meningkatkan distribusi BBM ke wilayah timur Indonesia. Apalagi, imbuhnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mencanangkan kebijakan BBM satu harga beberapa waktu lalu.

Dwi Soetjipto menuturkan Pertamina telah melakukan pengembangan agen penyalur minyak (APMS) dan solar di wilayah timur Indonesia, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain penguatan APMS, imbuhnya, Pertamina juga mengoperasikan pesawat pengangkut BBM Traktor Udara untuk meningkatkan pasokan bahan bakar.

"Pertamina berupaya menggunakan berbagai moda transportasi baik darat, laut, maupun udara guna mendukung kebijakan pemerintah agar masyarakat di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal bisa mendapatkan BBM dengan harga sama dengan daerah lainnya. Pertamina selalu komit dengan kebijakan yang dicanangkan pemerintah," tegasnya.

Ia mengatakan bahwa kendala utama dalam menyalurkan BBM di wilayah timur Indonesia adalah beratnya kondisi geografis dan belum memadainya infrastruktur jalan darat. Dengan kondisi tersebut, khusus di wilayah Papua dan Papua Barat, rata-rata biaya distribusi bahan bakar berkisar dari Rp4.000 per liter hingga Rp29.000 per liter.

"At any cost, pasti kami sebagai kepanjangan tangan pemerintah akan menanggung biaya (distribusi)," tukasnya.

Penggemar tembang-tembang Queen ini mengatakan peningkatan distribusi ke wilayah-wilayah yang tak mendapatkan akses ke BBM merupakan upaya dari mewujudkan kemandirian energi. Apabila Pertamina bisa menyuplai BBM, imbuhnya, masyarakat di daerah terpencil tidak perlu lagi menyelundupkan bensin ilegal dari negara tetangga.

"Kemandirian energi itu berati kita tidak perlu impor dan bergantung pada asing buat memenuhi kebutuhan energi nasional," ujarnya.

Bunga Vidanska meyakini bahwa Pertamina pasti memiliki komitmen kuat buat meningkatkan pasokan BBM ke wilayah Papua Barat. Meski tugas pendistribusian BBM ada di pundak Pertamina, ia mengatakan perusahaan BUMN itu tentu memerlukan dukungan dari banyak pihak buat melaksanakan kewajiban tersebut.

"Saya percaya pasti Pertamina sudah memikirkan semua baik-baik, beralasan, dan berdasarkan data. Pasti Pertamina bakal mampu menyediakan lebih banyak SPBU. Kalau belum mampu perbanyak SPBU, perpanjang saja waktu pelayanan jadi 24 jam. Pasti ada yang beli kok," harapnya.

Meningkatkan Kapasitas Produksi

Dwi Soetjipto menegaskan Pertamina memiliki tekad kuat untuk terus mencari sumber energi baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, ia menjelaskan Pertamina juga melakukan pengembangan kapasitas kilang minyak yang sudah ada.

"Kita bakal terus tingkatkan kapasitas kilang. Kalau di upstream. Kita per tahun investasi sekitar US$3 miliar, 10 tahun more or less US$30 miliar," ucapnya.

Saat ini Pertamina tengah menjalankan program refinery development master plan (RDMP). Keempat kilang yang ditengah direvitalisasi adalah Kilang Balikpapan, Kilang Dumai, Kilang Cilacap, dan Kilang Balongan. Sementara itu, Kilang Plaju Sungai Gerong akan menjadi proyek selanjutnya.

Adapun, Kilang Balikpapan menjadi proyek revitalisasi pertama. Pertamina membagi dalam dua tahap pembangunan. Tahap pertama dengan investasi US$2,4-2,6 miliar, sedangkan tahap kedua sekitar US$2-2,2 miliar. Pertamina menargetkan bisa menuntaskan konstruksi proyek revitalisasi Kilang Balikpapan tahap pertama pada Juni 2019.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fadel Muhammad mendukung penuh upaya Pertamina dalam merevitalisasi kilang minyak.

"Persiapan sangat bagus sekali dan rencana kilang dibangun oleh Pertamina sendiri. Saya atas nama Komisi VII mendukung sepenuhnya. Harapan kita tidak lagi bergantung pada orang luar," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: