Kredit Foto: Reuters/Kevin Lamarque
Hasil Pemilihan Umum Presiden Amerika Serikat, Selasa (9/11), telah mengejutkan berbagai pihak karena Donald Trump, calon dari Partai Republik, mengalahkan Hillary Clinton, kandidat dari Partai Demokrat, yang lebih diunggulkan dari berbagai polling.
Hasil tersebut sempat direspons negatif oleh para pelaku pasar di berbagai Bursa Asia, termasuk Indonesia, karena dalam masa kampanye, Trump menjanjikan akan menerapkan proteksionisme dan antiimigran sehingga berpotensi menimbulkan kericuhan.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks harga saham gabungan (IHSG), Rabu (9/11), ditutup turun 1,03 persen menjadi 5.414,32. Pada hari Kamis (10/11), ditutup menguat 0,66 persen menjadi 5.450,30. Hari berikutnya, Jumat (11/11), ditutup kembali melemah 4,01 persen menjadi 5.231,97.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menilai pergerakan IHSG yang berfluktuasi saat ini tidak terlepas dari pengaruh yang terjadi di pasar modal seluruh dunia.
Ia menjelaskan bahwa situasi ini terjadi karena pasar menilai negatif hasil pemilihan presiden AS yang di luar dugaan sehingga membuat bursa saham global, termasuk Asia, bergejolak dalam 3 hari terakhir.
"Pasar modal di seluruh dunia sifatnya sudah saling terkoneksi. Kalau kita lihat dampak perkembangan global, memang berpengaruh pada negara di 'emerging market', saya rasa semua negara berpengaruh, tidak terkecuali Indonesia," ujar Nurhaida.
Tidak hanya bursa saham, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank juga bergerak melemah dari Rabu ditutup sebesar Rp13.117 per dolar AS, pada hari Kamis melemah menjadi Rp13.140 dan terus terdepresiasi hingga pada hari Jumat tercatat mencapai Rp13.325.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui pergerakan nilai tukar rupiah, IHSG, dan pasar Surat Utang Negara (SUN) bergejolak karena terpengaruh oleh sentimen global usai pemilihan Presiden Amerika Serikat.
"Perkembangan rupiah bersama IHSG dan SUN, memang dipengaruhi sentimen secara regional maupun global karena perkembangan situasi politik AS. Amerika Serikat negara terbesar di ekonomi, jadi apa pun yang dilakukan di sana, bahkan hanya pernyataan (The Fed) akan sangat memengaruhi," kata Sri Mulyani.
Untuk itu, pemerintah akan berupaya mengelola dan menjelaskan situasi ekonomi Indonesia kepada para pelaku pasar keuangan agar tidak resah dan khawatir terhadap rumor yang saat ini menimbulkan ketidakpastian terhadap kondisi ekonomi kawasan dan global.
"Kita terus mencoba melakukan 'counter' dengan 'market' untuk memberikan keyakinan mengenai fondasi dari ekonomi kita," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Sri Mulyani menegaskan bahwa ekonomi Indonesia saat ini masih tumbuh relatif tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya, yang di antaranya didukung oleh membaiknya manajemen fiskal dan pengelolaan utang dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo juga mengatakan bahwa pihaknya akan menjaga stabilitas ekonomi makro dan memastikan ketersediaan likuiditas dalam menyikapi perkembangan global terbaru usai pemilihan Presiden AS.
Oleh karena itu, Agus ikut memantau janji politik Trump yang ingin memangkas pajak serta menerapkan kebijakan proteksionisme karena kondisi itu tidak realistis dengan situasi perekonomian pada masa modern dan berpotensi menimbulkan kegaduhan.
"Terdapat pemotongan pajak baik korporasi maupun individu dan penambahan infrastruktur yang bisa membuat defisit makin besar. Kalau ada proteksionisme, mungkin ada negosiasi NAFTA dan TPP tidak diteruskan sehingga negara berkembang akan mendapatkan tekanan," katanya.
Menanggapi perkembangan terkini, mantan Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan bahwa para pelaku bisnis harus mulai beradaptasi dengan realita politik global, terutama setelah hasil Pemilu Presiden AS di luar perkiraan semula.
"Para aktor bisnis harus merespons dengan melahirkan strategi karena ini realita politik baru. Jangan lagi menganggap ini hal yang sementara," kata Mahendra.
Mahendra mengatakan bahwa perekonomian global yang saat ini melemah justru menimbulkan sentimen antiglobalisasi maupun antiimigran, dan kondisi ini menjadi realita politik setelah pengusaha Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS.
Maka, dia mengharapkan seluruh aktor di sektor keuangan maupun perdagangan harus mengubah cara pandang dalam menyikapi fenomena politik yang makin sulit diprediksi dan terkadang proyeksinya di luar perkiraan awal.
"Sekarang ini kondisinya penuh tantangan. Namun, meski perekonomian global sedang melemah, kawasan Asia masih berpeluang untuk berkembang dari sisi investasi maupun perdagangan. Tentunya ini membutuhkan pendekatan baru dan perubahan cara pandang," ujarnya.
Namun, meski banyak ucapan kontroversial yang diutarakan Trump, Mahendra menyakini pengusaha tersebut setelah dilantik menjadi Presiden AS tidak sepenuhnya melaksanakan janji proteksionisme dan antiimigran yang diutarakan pada masa kampanye.
Perkuat Fondasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa penguatan fundamental ekonomi lebih penting daripada mengkhawatirkan dampak dari Pemilu Presiden AS terhadap Indonesia.
"Lebih baik kita urusi fondasi ekonomi agar sehat dan kuat sehingga apa pun yang terjadi di negara lain kalau ada pengaruhnya, tidak sampai mengganggu kita," kata Darmin.
Darmin menjelaskan bentuk penguatan fundamental ekonomi tersebut adalah dengan melakukan kombinasi kebijakan dalam hal penyiapan infrastruktur, deregulasi, sumber daya manusia, fiskal, dan pembenahan sektor tertentu.
Menurut dia, salah satu hal yang penting dilakukan dalam mendorong kinerja perekonomian adalah mempercepat pembangunan infrastruktur dengan memanfaatkan pengalihan dana dari subsidi BBM serta tambahan kontribusi dari sektor swasta.
"Infrastruktur adalah investasi jangka panjang, bukan jangka pendek. Kalau sudah jadi, kita tidak perlu pusing menawarkan proyek pembangunan. Maka, infrastruktur sangat penting," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia ini.
Berikutnya, kata Darmin, mendorong kebijakan deregulasi dengan melaksanakan secara konsisten paket kebijakan ekonomi, yang sejak September 2015 telah terbit sebanyak 13 jilid, untuk mengurangi hambatan berusaha dan memperlancar kegiatan investasi.
"Kita hanya perlu mempertajam, memperdalam, dan menyempurnakan deregulasi. Hasilnya telah terlihat dan peringkat kemudahan berusaha (EoDB) Indonesia naik menjadi 91 dari sebelumnya 106. Indonesia juga termasuk salah satu negara 'top reformer'," kata Darmin.
Untuk mendorong pembenahan sumber daya manusia, Darmin mengatakan bahwa pemerintah telah membentuk pelatihan dan pendidikan vokasi untuk menyiapkan tenaga pekerja berkualitas dalam waktu cepat, di antaranya di bidang kelistrikan dan juru ukur tanah.
Selain itu, melalui kebijakan fiskal, Darmin mengharapkan adanya tambahan penerimaan serta pembenahan administrasi pajak karena selama ini postur pendapatan negara belum optimal untuk memberikan kontribusi pada APBN.
"Kita harus bisa menggunakan teknologi informasi dan memperbaiki penerimaan menggunakan data amnesti pajak agar ini bisa menjadi 'benchmark' untuk mengejar pendapatan dan kepatuhan wajib pajak," kata mantan Direktur Jenderal Pajak ini.
Untuk kebijakan sektor, menurut Darmin, harus ada upaya untuk memperbaiki bahan baku industri di sektor tertentu agar tidak lagi bergantung dari impor yang bisa mengganggu kinerja neraca transaksi berjalan dalam jangka panjang.
Darmin mengatakan bahwa kombinasi kebijakan tersebut didukung asumsi pertumbuhan konservatif pada tahun 2017 sebesar 5,1 persen, bisa membuat kinerja pertumbuhan ekonomi lebih kuat dan bisa mencapai kisaran 5,2 s.d. 5,4 persen pada tahun depan.
Secara keseluruhan, dia ikut menyakini Presiden AS terpilih Donald Trump tidak sepenuhnya merealisasikan janji politik yang diucapkan pada masa kampanye karena bisa menjatuhkan citra AS di kancah internasional.
"Kampanye kadang bertentangan pelaksanaannya antara satu sama lain, misalnya mengatakan bahwa mau proteksionisme, tetapi di lain pihak AS ingin jadi negara yang dihormati kembali, itu tidak sejalan," ungkapnya.
Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi menambahkan bahwa daripada mengkhawatirkan dampak terpilihnya Trump, akan lebih baik bagi pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi agar mampu berdaya saing dan tidak rentan terhadap tekanan global.
"Kita tidak usah pikirkan luar negeri, pikirkan bagaimana mempercepat ekonomi kita, investasi lebih banyak dan uang amnesti dipercepat untuk mendorong infrastruktur. Pikirkan juga menggenjot insentif agar investasi meningkat," katanya.
Menurut Sofjan, penguatan itu juga harus dilakukan pada industri dalam negeri agar lebih kompetitif dan mampu bersaing dengan produk impor yang kemungkinan akan membanjir bila AS benar-benar melakukan proteksionisme.
"Sekarang belum ada keputusan yang 'clear', tetapi kita harus memperkuat industri dalam negeri. Jangan sampai negara lain tidak bisa ekspor ke AS, terus dilempar ke sini. Nanti mati industri dalam negeri kita," ujar mantan Ketua Apindo ini. (Ant/Satyagraha)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement