Jaksa Agung HM Prasetyo enggan menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai kinerjanya selama dua tahun terakhir tidak memuaskan.
"Saya tidak harus menanggapi panjang lebar, saya hanya prihatin. ICW tidak tahu atau tidak mau tahu apa yang telah dilakukan dan yang sedang kita lakukan dan sudah kita lakukan," katanya di Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Ia menambahkan ICW tidak tahu dinamika penegakan hukum sekarang seperti apa karena itu kejaksaan tidak akan terpengaruh dengan penilaian dan pernyataan seperti itu.
Mungkin teman-teman ICW juga lupa, bahwa penegakan hukum itu tidak harus selalu represif atau penindakan tapi juga preventif. Itu yang kita lakukan, katanya.
Terkait dengan tudingan adanya intervensi politik di dalam penanganan kasus dugaan tindak korupsi oleh ICW, Prasetyo membantah siapa yang intervensi politik dan tidak ada uruskan dengan politik.
"Gak ada seperti itu, jangan menuduh tanpa dilandasi dengan bukti-bukti. Kita semuanya berjalan atas bukti, semuanya kita jalankan dengan ketentuan yang ada. Nilai apapun silakan, itu hak mereka menilai," paparnya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kinerja Jaksa Agung HM Prasetyo selama dua tahun memimpin Kejaksaan Agung, mengecewakan diantaranya penanganan dugaan kasus korupsi berbau intervensi politik.
"Selama dua tahun terakhir, HM Prasetyo gagal dalam tiga hal, menjalankan mandat sebagai Jaksa Agung dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia, mendorong percepatan reformasi di Kejaksaan, dan menaikkan citra positif pemerintahan Jokowi dimata publik," kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson F Juntho melalui siaran persnya yang diterima Antara, Kamis (17/11/2016).
Ia menambahkan tidak ada prestasi yang menonjol dari seorang Jaksa Agung HM Prasetyo. Kinerja pemberantasan korupsi mengecewakan, tidak optimal bahkan berjalan ditempat, dan dalam penanganan perkara ditengarai muncul intervensi politik yang mengganggu kemandirian institusi kejaksaan.
Bahkan, kata dia, agenda reformasi di Kejaksaan berjalan tanpa arah yang jelas. Selama Prasetyo menjabat, nama baik institusi kejaksaan justru tercoreng dengan sejumlah peristiwa yang memalukan.
"Dua tahun adalah waktu yang cukup bagi Prasetyo menjabat sebagai Jaksa Agung dan tidak ada alasan yang masuk akal bagi Presiden untuk mempertahankannya. Presiden Jokowi sudah seharusnya mengganti HM Prasetyo dengan figur lain yang lebih kredibel dan independen (bukan politisi) sebagai Jaksa Agung," katanya.
Dalam siaran persnya, ICW menyebutkan kasus di Kejagung yang ada intervensi politik di antaranya proses penyelidikan kasus korupsi "Papa Minta Saham" yang melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua DPR bahkan dikabarkan telah dihentikan di Kejaksaan.
Penyelidikan rekening gendut kepala daerah, salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, yang berasal dari Partai Amanat Nasional. dihentikan pada September 2015 karena dinilai tidak memiliki bukti yang kuat untuk ditingkatkan ke penyidikan.
"Gagal ditangan Kejaksaan, pada Agustus 2016 akhirnya, Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka KPK atas dugaan penerbitan izin tambang sejak tahun 2009 hingga 2014," katanya.
Kasus lainnya yang dihentikan adalah Bupati Bone Bolango, Hamim Pou yang pada bulan Januari resmi menjabat sebagai Ketua DPW Nasdem Gorontalo. Selain itu ada Bupati Halmahera Selatan, Muhammad Kasuba yang berasal dari PKS. Terakhir, SP3 juga diberikan ke Bupati Bantul, Idham Samawi yang berasal dari PDIP.
Dugaan intervensi lainnya adalah menuntut ringan pelaku di Pengadilan. Dalam kasus korupsi yang melibatkan Indriyanto MS alias Yance, mantan Bupati Indramayu dan Anggota DPRD Jawa Barat serta Ketua DPD Golkar yang terjerat perkara korupsi pembebasan lahan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu pada tahun 2004 silam.
Meski kerugian Negara yang ditimbulkan sangat fantastis namun tuntutan Jaksa hanya 18 bulan penjara. Begitu juga dengan kasus korupsi yang melibatkan Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yaitu Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Meski didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam proyek pembangunan tiga Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang Selatan pada 2011-2012 yang merugikan keuangan negara Rp9,6 miliar namun Jaksa Penuntut Umum yang berasal dari Kejaksaan Agung hanya menuntut ringan yaitu 18 bulan penjara.
Sejumlah kasus dugaan korupsi di daerah yang melibatkan politisi umumnya juga hanya dituntut ringan yaitu 2 tahun ke bawah. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement