Tiga mantan Menteri Keuangan, yakni Boediono, Chatib Basri dan Sri Mulyani (yang kini kembali menjabat Menkeu), berbicara soal krisis dalam seminar "Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa Ke Masa" yang digelar di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Menurut Boediono, krisis itu diibaratkan seperti gempa, yang tidak bisa diprediksi akan terjadi kapan, di mana, dan seberapa besar. Yang terpenting adalah bagaimana persiapan pemerintah menghadapi krisis yang bisa datang kapanpun.
"Elemen-elemen kejut (element of surprise) akan tetap ada. Kita harus siap saja menghadapi elemen tersebut. Namun kita harus mempertajam kemampuan kita melihat ke depan, bukan hanya 6 bulan atau setahun, tapi beberapa tahun ke depan," ujar Boediono.
Boediono menuturkan, harus ada semacam upaya pertahanan yang sistematis untuk meminimalisir dampak krisis tersebut, karena krisis itu sendiri tidak bisa dideteksi dan dicegah begitu saja.
"Kita perbaiki struktur ekonomi kita. Kalau tidak seimbang, maka akan gampang sekali digoyahkan. Memang jangka panjang, tapi harus diupayakan," katanya.
Selain itu, Boediono juga menekankan pentingnya koordinasi antar institusi yang bertugas mengatasi krisis, terutama saat krisis itu sendiri sedang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan prosedur operasional standar (SOP) yang jelas.
"Koordinasi dalam keadaan krisis semakin sulit, saat normal saja sulit. Biasanya semua kembali ke "comfort zone"-nya (zona nyamannya) masing-masing," ujarnya.
Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, ketika krisis terjadi, seorang pemimpin akan benar-benar diuji sejauh mana ia memiliki keberanian dan kemauan untuk melawan zona nyamannya sendiri.
"Kalau dalam kondisi krisis, policy maker (pengambil kebijakan) melawan comfort xone, itu the hardest part (bagian paling sulit). Bagaimana melawan intuisi mengamankan diri sendiri," ujarnya.
Sementara itu, Chatib Basri menekankan pentingnya kerja sama yang baik dalam forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ia juga menekankan pentingnya komunikasi yang baik, terhadap dunia internasional, terhadap publik, dan juga kepada parlemen.
"Kita tidak mungkin bisa memprediksi krisis. Saya sendiri (ketika menjabat Menteri Keuangan) selalu meminta untuk dilakukan 'stress test' (uji tekanan), apakah kita survive (bertahan) atau tidak," ujar Chatib. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement