Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan permohonan terkait hak uji meteriil terhadap Peraturan Menteri Perindustrian No.63/2015 tentang peta jalan industri hasil tembakau 2015-2020. Permohonan ini diajukan Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (SAPTA) mengenai Beleid yang ditertibkan Agustus 2015 lalu, menargetkan adanya peningkatan produksi rokok dengan pertumbuhan 5-7,4 persen per tahun 2015 sampai tahun 2020.
Peningkatan ini membuat total produksi rokok akan menjadi 524,2 miliar batang pada tahun 2020. Jika perkiraan penduduk Indonesia di tahun 2020 adalah 270 juta orang, maka di tahun itu setiap orang anak-anak maupun dewasa akan merokok 1900-an batang rokok per tahun.
Hal demikian?mendapat respon positif karena dinilai dapat mengubah haluan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) atas peraturan roadmap hasil tembakau.
"Kita semua harus memberi apresiasi kepada Mahkamah Agung yang pada akhirnya mengabulkan keberatan kita. Putusan MA agar mencabut Peta Jalan IHT adalah keputusan yang sangat tepat dan sangat berpengaruh pada masa depan bangsa ini nantinya,? kata advokat senior Mulya Lubis ?di Jakarta, Selasa (13/12/2016) kemarin.
Adapun, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 16P/HUM/2016 tertanggal 5 Oktober 2016, dinyatakan bahwa Permenperin Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tanggal 10 Agustus 2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
MA pun memerintahkan Menteri Perindustrian RI untuk mencabut Permenperin Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020. Pemberitahuan Putusan MA ini secara resmi diterima tim advokat pada Selasa, 6 Desember 2016.
Aturan pro-rokok ini yang secara jelas bertujuan meningkatkan produksi, secara tidak langsung akan mendorong peningkatan pemasaran atau penyerapan hasil produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi. Peningkatan konsumsi ini perlu diwaspadai karena tren menunjukkan konsumen rokok adalah konsumen domestik sehingga produksi yang tinggi akan menyasar pada anak dan masyarakat Indonesia.
Padahal, konsumsi rokok memiliki konsekuensi yang sangat membahayakan bagi masa depan Indonesia, bukan saja terkait dampaknya terhadap kesehatan, namun juga ekonomi, sosial, dan lingkungan secara luas.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Lily Sriwahyuni Sulistyowati menjelaskan, selama ini, kementerian Kesehatan dianggap telah berusaha keras agar prevalensi perokok turun sehingga kualitas kesehatan rakyat Indonesia meningkat. Peta Jalan IHT dinilai bertentangan dengan Peta Jalan Kementerian Kesehatan yang menargetkan penurunan jumlah perokok. Karena itu,
"Dengan terbitnya Putusan MA ini, kami berharap tidak ada lagi usaha-usaha untuk mengalahkan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesehatan masyarakat,? Lily.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rahmat Patutie
Advertisement