Sejak awal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengatakan bahwa suap terhadap Emrisyah adalah suap kepada individu dan bukan kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
"Garuda Indonesia sangat kooperatif, dan perbuatan tindak pidana korupsi ini bersifat individual karen aitu seharusnya tidak menggangu operasi Garuda Indonesia. Oleh karena itu maka Garuda Indonesia juga kemungkinan dibebaskan dari tuntutan korupsi," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Keyakinan itu timbul karena yang mendapat keuntungan dari suap itu bukan Garuda, melainkan Emirsyah Satar.
Emirsyah tercatat memiliki peningkatan kekayaan yang signifikan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 5 Desember 2013 yaitu berjumlah Rp48,738 miliar (dikurangi utang 932.757 dolar AS) atau naik hingga Rp28,775 miliar dari pelaporan sebelumnya pada 1 Juli 2010 yang hanya berjumlah Rp19,963 miliar.
Harta Emir itu terdiri dari harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp42,577 miliar yang berada di kota Tangerang, dua lokasi di Singapura, Bogor, empat lokasi di Jakarta Selatan dan Melbourne.
Selanjutnya alat transportasi senilai Rp1,788 miliar berupa mobil BMW, dua Mercedes Benz, Toyota Harrier dan Ranger Rover. Masih ada harta berupa logam mulia, batu mulia dan barang seni yang totalnya berjumlah Rp1,45 miliar.
Emirsyah juga tercatat memiliki surat berharaga sejumlah Rp1,628 miliar dan giro setara kas lain senilai Rp2,744 miliar dan 223.542 dolar AS. Namun ia memiliki uang sejumlah Rp1,366 miliar dan 1.158.299 dolar AS.
KPK juga tidak menutup kemungkinan mengembangkan kasus ini kepada penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Kami berharap para pembesar BUMN terutama yang terkait dengan uang dana yang cukup besar dan memungkinkan mereka mengakses perbankan besar di luar negeri supaya hal-hal negatif seperti ini dihentikan karena besar peluangnya dan kita bisa mengendus dan membuktikan ini," tegas Laode.
Ia meminta agar perusahaan, terutama BUMN mulai mengakrabkan diri standar etika yang sangat ketat dan memperbaiki pengawasan internal. Kasus Rolls Royce Sedangkan pihak Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi SFO sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara.
"Diduga praktik suap ini juga dilakukan terhadap sejumlah pejabat di bebrapa negara lain seperti Malaysia, Thailand dan China," ungkap Laode.
KPK juga tidak menutup kemungkinan pihak Rolls Royce diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini.
"Apakah akan diperiksa kalau seadainya dibutuhkan keterangan dari Airbus atau Rolls Royce akan dilakukan (pemeriksaan) tapi semua informasi yang dimiliki CPIB dan SFO yang bisa membantu penyidikan di Indonesia itu sudah dibagikan bersama karena sudah ada rasa percaya antara CPIB, CFO dan KPK," tambah Laode.
Laode juga meminta para pejabat publik agar segera menghentikan suap lintas negara yang selama ini banyak dilakukan karena KPK sudah memiliki mata, telinga dan tangan di negara-negara lain.
"Kami berharap bahwa setiap pejabat publik yang ada di Indonesia yang mengurus banyak keuangan negara, praktik seperti ini tolong dihentikan karena di negara-negara lain undang-undangnya jauh lebih keras dibanding di Indonesia," tegas Laode.
Menurut Guardian, denda 671 juta poundsterling (senilai sekitar Rp11 triliun) terhadap Rolls Royce terbagi atas denda yang harus dibayar kepada pemerintah Inggris (497 juta pounds), pemerintah Amerika Serikat (140 juta pounds) dan pemerintah Brazil, ditambah ongkos investigasi SFO, yang seluruhnya akan dibayar dalam waktu lima tahun Rolls Royce melakukan penyuapan di sejumlah negara antara lain di Thailand dengan menyewa pihak ketiga untuk mengamankan kontrak dengan BUMN energi Thailand, PTT dengan nilai suap pencapai lebih dari 11 juta dolar AS dalam 10 tahun.
Di Brazil, Rolls Royce juga menyewa pihak ketiga untuk menyuap pejabat senior senilai 1,6 juta dolar AS untuk mendapatkan proyek di perusahaan minyak dan gas Petrobas. Pihak ketiga itu pun didenda 10 juta dolar AS.
Di Kazakhstan, Rolls Royce bahkan menyewa tiga perusahaan perantara agar mendapatkan kontrak sebagai distributor komponen proyek pipa gas China-Kazakhstan. Untuk menyembunyikan suap itu, para staf menggunakan email pribadi dan kode-kode tertentus saat berkomunikasi.
Di Azerbaizan, Rolls Royce menggelontorkan hampir delapan juta dolar AS pada 2000-2009 untuk mendapatkan kontrak dengan perusahaan minyak negara tersebut, Socar dan mendapat keuntungan hingga lebih 50 juta dolar AS. Di Irak, perusahaan perantara Rolls Royce juga menyap pejabat perusahaan milik negara Southern Oil Company pada 2006 untuk mendapat informasi rahasia.
Di Anggola, perantara sewaan Rolls Royce memberikan komisi 2,4 juta dolar AS untuk dan memperoleh keuntungan 30 juta dolar AS pada periode 2008-2012. Masyarakat pun menunggu langkah KPK selanjutnya untuk mengungkapkan kasus ini, dan kasus-kasus suap lain yang membelit perusahaan negara. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Advertisement