Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf melihat pemberian grasi pada terpidana kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Bantaran, Nasrudin Zulkarnain syarat kepentingan politik. Dia yakin ada deal-deal antara Presiden Jokowi dan Antasari dalam pemberian grasi tersebut.
?Kalau Antasari memang mencari keadilan dan ingin membuktikan dirinya tidak bersalah, harusnya dia mengupayakan PK lagi kalau memang punya bukti-bukti kuat dia tidak bersalah. Makanya dugaan kuat saya, ada deal-deal politik dalam pemberian grasi ini. Antasari nampaknya bukan sedang mencari keadilan,? ujar Asep saat dihubungi, Senin (31/1/2017).
Menurut Asep, permintaan grasi oleh Antasari ke presiden sekaligus juga menunjukkan bahwa Antasari memang telah mengakui dirinya bersalah dalam kasus yang telah diputus kepadanya mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai pada tingkat tertinggi dengan pengajuan Peninjauan Kembali(PK). Kalau memang dirinya tidak bersalah maka bukan grasi yang seharusnya diajukan tapi PK.
?Kenapa dia ajukan grasi kalau memang tidak bersalah? Belum pernah ada saya rasa penerima grasi sampai diterima oleh presiden secara resmi di istana. Baru kali ini,? tambahnya.
Dia pun melihat, kemungkian keadilan yang dimaksudkan adalah adanya take and give antara Antasari dan Presiden Jokowi.
?Bisa jadi Antasari memiliki sejumlah dokumen-dokumen tertentu yang penting buat pemerintahan yang berkuasa saat ini.Dia berikan dokumen-dokumen itu maka dia pun mendapatkan grasi dari presiden. Tidak ada makan siang gratis kan?,? jelasnya.
Dia pun membandingkan pemberian grasi ini dengan pemberian keringan hukuman buat whistle blower dalam banyak kasus-kasus pidana. ?Antasari tentunya akan berkakulasi betul. Gak ada yang gratis.Makanya mungkin karena dia memiliki rahasia-rahasia yang dibutuhkan oleh penguasa, dia pun mendapatkan grasi ini,? jelas Asep.
Asep sendiri melihat apa yang dilakukan antasari sekedar mencari fairnes terhadap kasusnya dan bukan mencari keadilan.?Yang dilakukan antasari sekedar mencari fairnes bukan justice atau keadilan. Cuma kalau cara seperti ini yang digunakan maka satu saat bahayanya ketika kekuasaan berganti atau ketika ada seseorang yang tidak suka dan kembali memfitnahnya, dia pun tidak bisa mengelak,? paparnya.
Hal ini menurutnya sangat berbahaya karena akan menunjukkan hukum bisa dinegosiasi dengan deal politik. Hukum bisa diatur oleh kekuasaan dan keadilan tergantung pada kepentingan kekuasaan.
?Sah saja menggunakan semacam whistle blower untuk mengungkap kasus yang lebih besar, tapi kalau hal ini diakumulasi pada kepentingan politik misalnya untuk menghancurkan lawan politik, maka pemanfaatan kekuasaan pengadilan seperti ini berbahaya,? tegasnya. Asep pun khawatir kalau cara-cara seperti ini bisa merusak sistem peradilan yang independen.
?Saya khawatir dan mudah-mudahan tidak ada tujuan untuk menguasai lembaga peradilan. Ini karena juga ada isu macam-macam terkait dengan penangkapan Patrialis Akbar yang kabarnya sarat dengan kepentingan politik.Mudah-mudahan arahnya tidak kesana,? tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement