Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

AJI Kecam Keras Aksi Kekerasan Terhadap Jurnalis

AJI Kecam Keras Aksi Kekerasan Terhadap Jurnalis Sejumlah wartawan melakukan aksi protes (demo) dengan meletakkan perangkat kamera dan ID card (kartu pers) di depan pintu gerbang kantor Pemkab Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (9/6). Aksi protes itu dipicu kebijakan Sekda Insra Fauzy yang melarang wartawan masuk komplek perkantoran pemkab saat digelarnya operasi penggeledahan kantor Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) oleh KPK. | Kredit Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Warta Ekonomi, Jakarta -

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan peserta aksi 112 terhadap dua jurnalis Metro TV dan seorang jurnalis Global TV di lingkungan Mesjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Sabtu.

Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, dalam pernyataan resminya mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya melaporkan kasus kekerasan ke polisi agar kasus ini diusut hingga tuntas agar kekerasan tidak berulang.

AJI juga mengimbau para jurnalis mengutamakan keselamatan saat meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan tidak menghargai para jurnalis.

Tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kegiatan jurnalistik bertentangan dengan UU Nomor 40/1999 tentang Pers. "Tindakan kekerasan terhadap jurnalis jelas melawan hukum dan mengancam kebebasan pers," katanya.

Pasal 8 UU Nomor 40/1999 itu dengan jelas menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial, seperti diatur pasal 3 UU Nomor 40/1999 itu.

Menurut dia tekanan dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis akan menghalangi hak publik memperoleh berita yang akurat dan benar, karena jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. "Padahal jurnalis bekerja untuk kepentingan publik," kata Nurhasim.

Dia menyebutkan, kasus kekerasan itu bermula saat dua jurnalis Metro TV, Desi Fitriyanti (reporter senior) dan Ucha Fernandes (kameraman), sedang meliput aksi 11 Februari 2017 sekitar pukul 11.00 WIB, di sekitar Mesjid Istiqlal, Jakarta.

Karena mengetahui kedua jurnalis dari Metro TV, tiba-tiba dari kerumunan massa mengusir dua jurnalis itu.

Dari keterangan yang dikumpulkan AJI Jakarta, kedua jurnalis Metro TV ini saat itu mengambil gambar di depan pintu masuk Al Fatah Masjid Istiqlal di sisi timur laut, seberang Gereja Katedral.

Belum sempat masuk, terdengar suara dari belakang "Usir Metro TV... usir Metro TV." Keduanya digiring massa dan dicaci-maki, di intimidasi serta diusir keluar dari lingkungan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu.

Fernandes dipukuli di bagian perut, leher dan kaki. Sedangkan kepala Fitriyanti dipukuli pakai bambu dan terluka. Setelah babak-belur, keduanya bisa dikeluarkan dari kerumuman massa.

Juru kamera Global TV, Dino, juga diintimidasi saat meliput aksi itu. Dia dituduh tidak sopan saat menyebut nama pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Sihab, tanpa menyertakan sebutan "habib".

Massa memaksa Dino menambahkan kata "habib" saat menyebut nama Rizieq Shihab, yang akan dijemput Polda Jawa Barat atas dugaan pencemaran nama proklamator Indonesia, Bung Karno.

Kasus lain, pada Jumat malam (10 Februari 2017), mobil Kompas TV diusir massa 112 dari lingkungan Mesjid Istiqlal.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, menyatakan, para pelaku secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik.

"Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta. Karena itu, kami mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan tindakan kekerasan ini ke polisi," ujarnya.

Kekerasan terhadap jurnalis kata dia, terus berulang karena pelaku dalam kasus sebelumnya tidak diadili.

Anggota masyarakat seharusnya tidak main hakim sendiri. Bila keberatan dengan pemberitaan di media, gunakan mekanisme protes secara beradab dengan cara melaporkan media ke Dewan Pers.

AJI mengimbau jurnalis mentaati kode etik jurnalistik dan bekerja profesional.

Selain itu, AJI Jakarta mendorong pemimpin redaksi memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan mengancam kerja-kerja jurnalistik. Perusahaan media harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas.

Kasus kekerasan serupa juga dilakukan oleh peserta aksi pada 4 November dan 2 Desember 2016 lalu terhadap beberapa jurnalis. Sampai detik ini, pengaduan di Kepolisian Jakarta Pusat yang disampaikan oleh jurnalis Kompas TV pada awal November belum jelas pengusutannya.

Dalam kesempatan ini, AJI Jakarta mendorong Polres Jakarta Pusat untuk serius mengusut pelaku kekerasan yang memukuli jurnalis Kompas TV pada awal November tahun lalu. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: