Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPK: Belum ada Info Mantan Bos Garuda Ditahan

KPK: Belum ada Info Mantan Bos Garuda Ditahan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan belum ada informasi terkait penahanan mantan Dirut PT Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat.

"Belum ada informasi terkait dengan penahanan terhadap tersangka, yang bisa kami pastikan hari ini adalah jadwal pemeriksaan Emirsyah Satar sebagai tersangka," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Jumat (17/2/2017).

Febri menjelaskan dalam pemeriksaan pertama terhadap Emirsyah, penyidik masih mempertanyakan dan mendalami kewenangan-kewenangan yang bersangkutan saat menjadi Dirut PT Garuda Indonesia dan apa-apa saja yang dilakukan dalam kewenangan tersebut.

"Jadi, kami belum terlalu jauh untuk mendalami informasi-informasi yang lebih rinci meskipun tentu saja penyidik memiliki strategi-strategi dalam proses penyidikan terutama terhadap pemeriksaan atas tersangka yang ada di KPK," ucap Febri.

Sebelumnya, kata Febri, KPK juga sudah mulai melakukan pemeriksaan terhadap Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura dalam kapasitasnya juga sebagai tersangka.

Soetikno Soedarjo adalah pihak yang diduga memberikan suap terhadap Emirsyah Satar terkait dengan pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C kepada PT Garuda Indonesia.

"Sejumlah saksi juga sudah kami periksa sebelumnya baik saksi yang berlatar belakang dari korporasi PT Garuda Indonesia ataupun dari korporasi yang ada di Singapura dalam hal ini Connaught International Pte. Ltd dan pihak lain yang relevan dalam perkara ini, kami masih terus lakukan proses penyidikan ini," kata Febri.

Emirsyah menjalani pemeriksaan untuk pertama kalinya sebagai tersangka di gedung KPK, Jakarta pada Jumat.

Emirsyah dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.

Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura. Soektino diketahui merupakan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.

Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, China, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak dan Anggola.

KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti.

KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.

Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huru f atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: