Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berfokus menangani beragam pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi nakal. Untuk mengawasi korporasi maupun pelaku usaha, KPPU dan KPK telah meneken memorandum of understanding (MoU) untuk saling bertukar informasi. Kasus terakhir yang tengah dikoordinasikan kedua lembaga tersebut adalah praktik kartel Yamaha-Honda.
Syarkawi mengungkapkan pihaknya telah menemui pemimpin?KPK pada akhir tahun lalu guna memperbaharui komitmen penanganan korporasi nakal. Selain bertukar informasi, kedua lembaga itu sepakat untuk melakukan investigasi bersama pada pelanggaran di sektor bisnis.
"Sejak awal, KPPU berkoordinasi dengan KPK terhadap dugaan praktik kartel maupun korupsi yang dilakukan korporasi. Terlebih, KPK ingin berfokus ke korupsi korporasi dalam tahun ini," kata Syarkawi di Makassar, Sabtu kemarin (4/3/2017).
Disinggung perihal koordinasi penanganan kasus Yamaha-Honda, Syarkawi mengaku belum bisa berkomentar banyak. Musababnya, koordinasi tersebut bersifat teknis melibatkan investigator KPPU dan penyidik KPK. Berlangsungnya koordinasi antara KPPU-KPK dalam kasus Yamaha-Honda untuk mendalami dugaan ada tidaknya indikasi korupsi. KPK menelusuri ada tidaknya peran serta penyelenggara negara maupun praktik suap.
"Kalau koordinasi itu (kasus Yamaha dan Honda) baru di level investigator (penyidik). Saya enggak tahu seperti apa model koordinasinya yang mereka lakukan karena itu sangat teknis di investigator," terang Syarkawi.
Sebelumnya, Majelis KPPU memutus bersalah Yamaha dan Honda dalam kasus dugaan praktik kartel penetapan harga skuter matik 110-125 cc pada Februari lalu. Putusan dibacakan setelah delapan bulan sidang digelar. Kedua pabrikan otomotif raksasa asal Jepang itu dinyatakan terbukti melakukan praktik culas dan kongkalikong dalam menetapkan harga skuter matik 110cc-125cc di Tanah Air.
Majelis KPPU menyatakan Yamaha dan Honda sengaja membuat mahal harga skuter matik dari banderol sewajarnya di mana praktik tersebut merugikan masyarakat selaku konsumen yang tak bisa mendapat harga kompetitif. Terlebih kedua merek tersebut saat ini memimpin pasar skutik di Indonesia dengan menguasai 97 persen pangsa pasar domestik.
Majelis Komisi KPPU menyebut Yamaha dan Honda terindikasi saling rangkul dan bersekongkkol mengatur harga demi mendapatkan keuntungan besar. Dalam istilah bisnis, perilaku ini disebut kartel. Di mana, hal ini dilakukan untuk mencegah kompetisi dan saling mendapatkan keuntungan.
Yamaha dan Honda terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal itu menyebut pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar bersangkutan yang sama.
Majelis KPPU kemudian menghukum Yamaha dan Honda membayar denda kepada negara dengan besaran berbeda. Yamaha didenda Rp25 miliar, sementara Honda Rp22,5 miliar. Dasar yang dipakai Majelis KPPU dalam memutuskan sidang praktik kartel Yamaha dan Honda adalah adanya bukti soal perjanjian kerja sama, pertemuan antarpejabat tinggi di lapangan golf, dan adanya bukti surat elektronik pada 28 April 2015, dan 10 Januari 2015.
Yamaha dan Honda sendiri terus membantah melakukan praktik kartel dan tidak menerima putusan Majelis KPPU. Kedua perusahaan tersebut lantas mengajukan banding. Sesuai aturan berlaku, pihak yang keberatan atas putusan KPPU hanya ditangani Pengadilan Negeri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Yari Kurniawan
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement