Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengaku pihaknya menerima banyak laporan dari pelaku usaha yang merasa dirugikan dengan keberadaan angkutan berbasis online. Operator angkutan online diduga menerapkan aksi predatory pricing alias membunuh pesaingnya yakni angkutan konvensional. Modusnya berupa promosi dan penerapan tarif murah yang tidak wajar.
"KPPU merespons laporan dari beberapa pelaku usaha dengan mempelajarinya terlebih dulu. Laporannya cukup lengkap, termasuk analisis dugaan bahwa taksi online melakukan aksi predatory pricing. Memang ada dugaan mereka (taksi online) melakukan jual rugi yang membuat pangsa pasar angkutan konvensional semakin menyusut," kata Syarkawi di Makassar kepada Warta Ekonomi, beberapa waktu lalu.
Predatory pricing sendiri merupakan strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah. Tujuannya yakni untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.
Syarkawi mengimbuhkan hingga kini pihaknya masih terus mempelajari laporan dari beberapa pelaku usaha yang merasa dirugikan dengan keberadaan angkutan online. KPPU siap melakukan upaya hukum bila memang ditemukan adanya praktik menyimpang dalam persaingan usaha di bidang jasa angkutan.
Di sejumlah daerah di Indonesia penolakan terhadap keberadaan angkutan berbasis online terus terjadi. Di Makassar misalnya, gelombang demonstrasi dari ratusan sopir angkutan kota alias angkot terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Bahkan, aksi unjuk rasa para sopir itu kerap berujung aksi anarkistis. Gabungan atau aliansi sopir angkot itu berencana melakukan aksi susulan pada 8 Maret mendatang.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Makassar Sainal Abidin meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap keberadaan angkutan konvensional. Selama ini kebijakan pemerintah disorotnya, termasuk soal kenaikan pajak STNK dan BPKB yang menyulitkan pihaknya. Pemerintah juga tidak mengontrol laju pertumbuhan angkutan umum online yang sudah menembus 2.000 unit. Menurut Sainal, keberadaan angkutan online itu jelas ilegal lantaran tidak memiliki izin trayek.
"Sampai hari ini tidak ada penindakan, baik dari pihak pemerintah, kepolisian, lebih-lebih dinas perhubungan Makassar. Mereka bebas mengambil penumpang dan tak memiliki argo seperti taksi pada umumnya. Yang jelas persaingannya tidak sehat lagi," keluh Sainal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Yari Kurniawan
Editor: Cahyo Prayogo
Advertisement