Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Produk Unggulan Dongkrak Penghasilan Masyarakat Desa

Produk Unggulan Dongkrak Penghasilan Masyarakat Desa Kredit Foto: Twitter @EkoSandjojo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Linawati (45) terlihat sibuk memilah-milah biji kakao yang dijemur di halaman rumahnya. Sejak beberapa tahun terakhir, ia dan masyarakat di Dusun Gambiran, Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta, mulai menanam kakao.

Dia mengatakan, kalau dulu hanya satu atau dua orang yang menanam kakao. Namun sejak beberapa tahun terakhir, sebagian besar penduduk desa tersebut menanam kakao. Setiap minggunya, setiap petani bisa menghasilkan sekitar 20 hingga 25 kilogram kakao kering.

Apalagi sejak adanya pengelolaan pascapanen, harga kakao di Desa Bunder Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul naik dua kali lipat, dari sebelumnya Rp12.000 menjadi Rp 30.000 per kilogram.

Hasil panen petani dibeli kelompok tani Sarimulyo yang kemudian diproduksi menjadi beragam aneka produk yakni Patilo cokelat, kacang cokelat, kacang mete cokelat, cokelat hitam.

Produk tersebut, kata Linawati, dijual sejumlah toko souvenir di Yogyakarta dan berhasil menembus pasar hingga kota besar seperti Jakarta dan Bali.

Produk unggulan

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengatakan pihaknya telah meminta kepala daerah untuk menentukan produk unggulan.

Eko mengatakan produk-produk unggulan desa juga berkontribusi pada roda perekonomian nasional "Produk unggulan merupakan salah satu cara untuk mengembangkan ekonomi di desa selain dengan mengalokasikan dana desa," kata Eko.

Bendahara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menjelaskan selama ini di desa-desa hanya menanam dalam skala kecil, akibatnya investor yang ingin berinvestasi pada sarana pascapanen menjadi malas masuk ke desa-desa.

Pembangunan di desa, kata dia, bukan hanya soal uang tetapi juga keterhubungan dengan dunia usaha. Dia melihat Kemendes PDTT perlu menjembatani antara petani dan dunia usaha sehingga tercipta sinergi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Pengelolaan pascapanen ini, lanjut Eko, sangat diperlukan karena petani saat ini belum memiliki sarana dan prasarana pascapanen. Akibatnya ketika panen, hasil pertanian membludak dan harganya murah. "Namun, jika dikelola dengan baik, harga tidak jatuh dan otomatis akan meningkatkan pendapatan petani".

Kedua, yakni perlu adanya irigasi dan embung air. Dia menyebut hanya 45 persen desa di Tanah Air yang memiliki sarana irigasi yang berakibat petani hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun. Namun, jika ada embung air atau cekungan penampung air, maka penanaman padi bisa dilakukan tiga kali setahun.

Pada tahun ini, pemerintah menganggarkan dana desa sebesar Rp60 triliun atau setiap desa mendapatkan dana sekitar Rp800 juta hingga Rp900 juta. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai Rp1 miliar per desa pada tahun berikutnya.

Tak hanya dari dana desa, desa juga mendapatkan tambahan dana dari pemerintah daerah melalui Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp300 juta hingga Rp3 miliar per tahun tergantung daerahnya. "Untuk tahun ini, kami meminta desa untuk fokus pada pertanian".

Eko menilai saat ini, sarana dasar di desa sudah mulai cukup. Sehingga fokus pada pemberdayaan ekonomi desa. Apalagi sekitar 80 persen wilayah di Tanah Air merupakan sektor pertanian. "Jadi pertanian ke depan harus besar dan terintegrasi".

Eko menilai ada dua langkah besar yang harus dilakukan yakni pengelompokkan pertanian dan pembangunan irigasi dan embung air. Jika skala produksi pertanian besar, maka akan mudah bagi pihak swasta untuk berinvestasi di desa untuk pengelolaan pascapanen.

Mendes PDTT mengatakan dana desa yang telah berjalan sejak tahun 2015 sebesar Rp20,8 triliun dan Rp46,9 triliun pada 2016 lalu telah memberikan efek pembangunan cukup signifikan.

Dana desa telah membangun jalan desa sepanjang 66.179 kilometer, 65.573 unit drainase, 37.962 unit penahan tanah, 36.951 unit mandi cuci kakus, 16.069 unit instalansi air bersih, 12.540 unit irigasi sawah, 13.988 unit sumur desa, 11.221 unit PAUD, 3.100 unit poliklinik desa, 1.810 pasar desa, 1.366 unit tambatan perahu, 686 unit embung air, dan 511.484 meter jembatan desa.

Stimulus Eko mengatakan meski desa menjadi model baru dalam pendanaan desa di dunia, hendaknya dana desa hanya menjadi stimulus bukan menjadi sumber utama pendanaan masyarakat desa. Selain mendorong produk unggulan desa, Kemendes PDTT juga mendorong agar desa mengelola produk unggulannya melalui badan usaha milik desa (BUMDes).

Di beberapa daerah, ada sejumlah BUMDes yang memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan dana desa yang diperoleh dari pemerintah. Contohnya Desa Ponggok, Klaten, melalui BUMDes bisa menghasilkan keuntungan yang mencapai Rp10 miliar per tahun melalui pengelolaan sumber daya yang ada di desa.

Desa Ponggok mengelola bekas tempat pemandian tua di desa itu menjadi objek wisata dalam air. Objek wisata tersebut semakin terkenal, setelah foto-fotonya terkenal melalui media sosial.

Saat ini, obyek wisata itu didatangi wisatawan dari berbagai daerah dan tentu saja menggerakan ekonomi di desa itu. Eko menyebut usaha BUMDes Ponggok juga merambah penyediaan fasilitas air bersih, penginapan dan rumah makan.

Menteri Pertanian, Amran Sulaeman, mengatakan pihaknya sudah melakukan pemetaan produk unggulan di bidang pertanian di Tanah Air. "Misalnya daerah produksi jagung ada di Sumbawa, Gorontalo dan lainnya. Kemudian untuk sapi ada di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan sekarang Lampung," kata Amran.

Amran menjelaskan jika sebelumnya, membangun pertanian "diecer", sekarang harus dilakukan secara "keroyokan" atau dengan kata lain melibatkan kementerian lain. "Saat ini membangun pertanian harus berdasarkan keunggulan dengan mempertimbangkan budaya dan kondisi lahan," cetus Amran. (Ant/Indriani)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: