Bulan lalu, lembaga pemeringkat internasional Standard & Poors datang menemui Menteri koordinator perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran Bank Indonesia untuk mendengar ketahanan dan perkembangan perekonomian Indonesia baik dari sisi fiskal maupun moneter, sebagai masukan bagi S&P, sebelum melakukan review tahunan setiap Juni.?
Mendengar kehadiran lembaga pemeringkat yang belum menaikkan rating Indonesia ke investment grade ini menemui regulator, pasar langsung bereaksi positif karena ekspektasi kenaikan rating sudah di depan mata. Sayangnya, setelah bertemu pemerintah dan BI, S&P tak mau banyak komentar atau bahkan memberi sedikit sinyal apakah kita sudah layak masuk investment grade atau masih akan ditunda lagi. S&P hanya memberi komen atas konsen mereka terhadap ketahanan fiskal Indonesia. ?
Menurut Bahana Sekuritas, sebenarnya ketahanan fiskal Indonesia tidak terlalu mengkhawatirkan, salah satu indikatornya bisa terlihat dari mulai membaiknya trend pendapatan Negara dan pertumbuhan ekonomi tetap berada pada 5.0% di tahun 2016 meskipun pemerintah melakukan pengetatan anggaran di tahun 2016. Anggaran yang lebih prudent juga telah membuat defisit transaksi berjalan Indonesia tahun lalu menjadi lebih baik pada 1,8% dari produk domestik brutto (PDB) atau sebesar USD 16,3 miliar, bandingkan dengan pencapaian 2015, defisit masih tercatat sebesar 2% dari PDB atau sebesar USD 17,5 miliar.?
Tahun ini, ekonom Fakhrul Fulvian memperkirakan defisit akan naik menjadi 2,1% dari PDB seiring dengan ekspansi perekonomian. Naiknya defisit ini bukanlah hal yang menakutkan bagi investor sepanjang kenaikan tersebut diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan membaiknya efisiensi baik di sektor public dan swasta.?
''Hal yang menjadi perhatian investor dalam jangka panjang adalah langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam menjaga ketahanan fiskal diantaranya dengan menyesuaikan harga minyak di dalam negeri sesuai dengan kenaikan harga minyak global, khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubdi, dan menaikkan komposisi belanja modal,'' ungkap Fakhrul dalam pers rilisnya di Jakarta, Senin (10/4/2017).
Pasalnya, jika harga minyak global dalam setahun kedepan naik namun harga BBM bersubsidi tidak ikut naik sesuai dengan harga pasar, maka hal ini akan mengganggu kestabilan anggaran pemerintah. Padahal pemerintah sendiri telah menetapkan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam UU, disesuaikan dengan kenaikan harga minyak global. Saat ini, dengan harga minyak global yang telah naik ke kisaran USD 50/barel, namun dengan rupiah yang cenderung menguat belum ada urgensi untuk menaikkan harga BBM.?
Memang menaikkan harga BBM bersubsidi bukan semata-mata keputusan ekonomi, ada kepentingan politik yang turut mempengaruhinya. Namun pemerintah perlu mengerti bahwa menjaga kestabilan fiskal dengan konsisten menjalankan UU akan dipandang positif oleh pasar. Bahana memperkirakan pada akhir tahun ini, harga minyak dunia kemungkinan naik ke kisaran USD 55/barel. Tahun depan, harga ini diperkirakan akan naik lagi.?
''Pasar akan merespon positif bila pemerintah merespon kenaikan harga minyak global dengan menaikkan harga BBM bersubsidi ketika prospek harga minyak meningkat, karena ini memberikan sinyal kebijakan fiskal pemerintah yang prudent dan berkelanjutan,? ?jelas Fakhrul.?
Untuk kasus Indonesia, pasar obligasi saat ini lebih melihat keberlanjutan perbaikan kebijakan fiskal pemerintah yang secara jangka panjang akan mempengaruhi prospek nilai tukar rupiah dan inflasi.
?Sepanjang kebijakan fiskal pemerintah prudent dan berkelanjutan, pasar tidak akan bereaksi secara berlebihan terhadap prospek kenaikan inflasi, dikarenakan persepsi resiko Indonesia akan mengalami perbaikan,? terang Fakhrul.
Ia juga menambahkan secara trend jangka panjang, inflasi barang bergejolak (volatile) dan inflasi inti Indonesia secara tahunan terus menunjukkan adanya trend penurunan.
"Menaikkan harga BBM memang bukan hal yang mudah bagi Indonesia sebab kenaikan harga BBM biasanya akan langsung di respon dengan kenaikan harga barang lainnya termasuk harga-harga bahan pokok, yang pada akhirnya memicu kenaikan inflasi." tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Vicky Fadil
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait:
Advertisement