Menyebut nama Witjaksono di blantika pebisnis di dalam negeri hanya akan bikin banyak pengusaha mengeryitkan dahi. ?Oh, saya tidak kenal ya,? ujar Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). ?Usahanya di bidang apa?? tanya balik putra pengusaha Sukamdani Sahid Gito Sardjono pemilik jaringan Hotal Sahid ini. ?Saya juga nggak kenal,? tutur Anthony Leong, Juru Bicara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) yang juga Dirut PT Indo Menara Digital bergerak di bidang digital marketing.
Nama Witjaksono belum pula masuk dalam daftar orang-orang kaya di Indonesia versi majalah Forbes Indonesia. Begitu pula laporan Knight Frank bertajuk ?Wealth Report? 2017 menyebut hanya ada 16 pengusaha asal Indonesia beraset di atas US$1.000 juta atau setara Rp13,3 triliun.
Di laporan itu, nama Witjaksono juga tidak ada. Namun Presiden Joko Widodo sepertinya mengenal figur Witjaksono ketika ia menyebut namanya bersamaan dengan nama-nama pengusaha kakap yang masuk dalam daftar orang kaya di Indonesia. ?Saya tahu ada Budi Hartono dari Djarum, Iwan dari Sritek, Budi Santoso di Suara Merdeka, Soleh Dahlan dari Dafam, dan Witjaksono asal Pati yang ikannya banyak banget,? ujar Presiden di acara sosialiasi program Tax Amnesty di Semarang, Jawa Tengah, 9 Agustus 2016.
Sontak, sekitar dua ribuan pengusaha yang hadir kala itu pun bertanyatanya, siapa sosok Witjaksono yang disebut-sebut Presiden Jokowi sebagai pengusaha yang punya ikan banyak asal Pati. Tidak banyak pengusaha di Jateng yang mengenal sosok Witjaksono yang disebut-sebut Presiden. Tapi anehnya, satu perusahaan fund manager di Singapura justru memasukkan Witjak?begitu panggilan akrab pria kelahiran Pati, 36 tahun silam ini?dalam shortlist dari sedikit pengusaha di Indonesia yang mengendalikan satu imperium bisnis. Lantas, siapakah sosok Witjak yang disebut-sebut
Presiden Jokowi dan masuk radar fund manager asing tapi lolos dari tangkapan layar pantau pebisnis di dalam negeri? Figur Witjak boleh dibilang pebisnis baru dari generasi anak muda era tahun 2000-an. Sebagai pendatang baru di dunia bisnis, wajar bila keberadaannya tidaklah diketahui banyak orang, termasuk di komunitas pelaku bisnis. Apabila namanya dilacak di dunia maya, akan keluar informasi kisah Witjak sebagai pendiri PT Dua Putera Utama Makmur Tbk (DPUM) yang bergerak di bidang pengolahan hasil laut sedang sharing knowledge dan pengalaman sebagai seorang pengusaha muda.
Dalam kisah itu, Witjak digambarkan sebagai sosok anak muda di bawah 40 tahun mampu melahirkan satu perusahaan pengolahan hasil laut terintegrasi dari hanya bermodal Rp10 juta sampai memiliki aset di atas Rp1,6 triliun per triwulan III-2016 dengan 4.000-an karyawan. Dari semula pabrik pengolahan yang berlokasi di Pati, Jateng, hanya mampu memproduksi puluhan ton saja hasil laut per hari, kini dengan perluasan pabrik yang diresmikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.
Pada 10 Agustus 2016, tingkat produksinya melonjak menjadi 100 ton per hari dengan kemampuan daya simpan di cold storage mencapai 25 ribu ton ikan dan hasil laut lainnya. Selain di PT DPUM Tbk, namanya juga akan terlacak sebagai direktur keuangan di PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo Tbk (DAJK). Di perusahaan pembuat kemasan kertas karton dan printing kertas yang berlokasi di Tangerang Provinsi Banten ini, ia juga tercatat sebagai pemegang saham minoritas berkongsi dengan dua rekan bisnisnya.
Sebagai perusahaan terbuka, PT DAJK Tbk diketahui memiliki aset di atas Rp2,2 triliun dan omzet di atas Rp700 miliar pada kuartal III-2015 ini memiliki empat anak usaha yang bergerak di bidang distribusi, perdagangan umum, jasa angkutan, dan percetakan serta pengepakan. Di luar dua perusahaan yang sudah listed di bursa itu, nama Witjak tidaklah terlacak lagi. Sebatas itulah informasi yang tersedia secara bebas di dunia maya.
Kalau hanya sebegitu info tentang Witjak, bagaimana mungkin ia bisa masuk radar sebuah fund manager asing di Singapura sebagai salah satu pengusaha yang mengendalikan sebuah imperium bisnis di Indonesia. Hal inilah yang membuat banyak media massa di dalam dan luar negeri penasaran dengan sosok berpenampilan bersahaja alumnus Fakultas Administrasi Niaga Universitas Diponegoro tahun 2004 ini.
Tapi, setiap kali ditanya perihal seberapa banyak perusahaan yang dimilikinya dan total asetnya, ia selalu mengelak dan mengajak siapa pun yang menanyakan hal itu untuk berganti topik, seperti gagasan bisnis yang sedang dipikirkannya. Dalam salah satu rekaman tayangan yang terunggah di media sosial, Witjak berdiri di atas panggung sedang berorasi kebangsaan di hadapan 6000-an mahasiswa Universitas Negeri Semarang pada 6 September 2015.
Ia memperkenalkan diri sebagai pengusaha muda yang memiliki 25 perusahaan dengan total aset di atas Rp3 triliun. Sontak riuh tepuk tangan ribuan mahasiswa terpesona dengan banyaknya jumlah dan besarnya aset perusahaan-perusahaan yang dimilikinya. Dalam beberapa kali pertemuan Majalah Warta Ekonomi dengan Witjak, ia perkirakan aset perusahaan di mana ia memiliki saham sudah di atas Rp5 triliun. Hanya segitukah jumlahnya? merujuk satu sumber kerabat dekat Witjak, jumlah perusahaannya di atas seratusan. ?Tapi, saya ini bukan konglomerat,? kilah Witjak walau disebut-sebut punya ratusan perusahaan (Lihat :?Rubrik Wawancara?-Red.).
Pasalnya, ia mengakui bukanlah pebisnis yang senang mengoleksi perusahaan dan aset kekayaan dalam satu wadah brand grup perusahaan. Ia tidak punya grup usaha seperti konglomerat di dalam negeri. Di setiap perusahaan, ia hanya pemegang saham minoritas. Ia memang dikenal kolega bisnisnya gemar mengkreasi bisnis dan menjalin kerjasama dengan banyak orang. Setiap ada peluang bisnis, ia mengajak rekan-rekan dekatnya untuk menggarapnya.
Begitu pula ketika rekan-rekannya menawarkan peluang bisnis ke Witjak, peluang itu digarap bersama. Dari sinilah gurita bisnisnya mulai terbentuk. Meski menggurita, Witjak bukanlah pemegang saham mayoritas di satu usaha. ?Hitung-hitung menyebar risiko bila terjadi kegagalan bisnis.? Anak bungsu dari enam bersaudara dari orang tua pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) golongan II di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan ibu seorang buruh pabrik kacang di Pati ini, memang bukan tipe pengusaha yang senang membicarakan ?kerajaan bisnisnya? ke publik. Itu pula mengapa imperium bisnisnya tidaklah pernah terekspos media massa dalam dan luar negeri.
Beberapa media massa dalam negeri pernah mencoba mengendus keberadaan pohon bisnis Witjak dan mengonfirmasikan kepadanya. Dengan halus, ia selalu menampik dan mengalihkan topik ke isu lain. Hal ini pula yang membuat imperium bisnis Witjak tidaklah tampak di permukaan, namun menggurita di bawah. Witjak memiliki ketajaman insting dalam mencium peluang dan membaui ada uang. Kemampuan inilah yang membuat dirinya suka geregetan bila mendengar banyaknya aset mangkrak milik pemerintah daerah. Sebut saja misalnya di Provinsi Maluku.
Di Negeri Ambon Manise ini, dikabarkan banyak pelabuhan telantar dan tidak berfungsi baik, serta sejumlah proyek listrik tidak jalan. Ia mengusulkan kepada Pemda setempat untuk bisa dipercaya mengelola aset-aset mangkrak tadi seperti pelabuhan. Ia sedang putar otak agar aset?aset itu berdaya guna. Pelabuhan-pelabuhan yang tak terurus tadi mau disulap menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal pesiar dunia. Caranya? Ia akan bangun fasilitas cottage bertaraf internasional agar kapal pesiar mau mampir. Selintas, gagasan tersebut merupakan konsep bagus di atas kertas.
Tapi bagi Witjak, hal itu bukan isapan jempol. Kalau ia sudah mencium ada peluang dan bau uang di situ, ia akan fokus. Ia sudah bergerak ke mana-mana untuk membangun jejaring termasuk ke pemilik kapal-kapal pesiar di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Itu semua ia lakukan dengan sungguh-sungguh dan fokus. Bagaimana hasilnya? Kita tunggu episode mendatang, akankah ada kapal pesiar dunia bersandar di Ambon? Dalam mengkreasi peluang bisnis menjadi duit, ia kerap melahirkan tidak hanya satu perusahaan, tapi akan beranakpinak. Misal, ia ada garapan kerja sama di Surabaya.
Dari hanya satu perusahaan yang bermitra dengan pengelola pelabuhan di Kota Pahlawan itu, lahir pula beberapa anak usaha lainnya yang menggarap di sektor transporasi/ ekspedisi, dan lainnya. Sebisa mungkin Witjak akan membawa semua perusahaan tempat ia memiliki saham?minoritas sekali pun?mengais modal dari publik melalui IPO (Initial Public Offering). Dari sinilah akan terlacak bagaimana ia mengkreasi bisnis dari nol sampai go public (from zero to IPO).
Dia menargetkan satu perusahaan IPO dalam setahun. Pada 2017 ini, ada satu perusahaan garmen baju muslim dan kaos kaki tengah dipersiapkan untuk go public. Tahun berikutnya, 2018 ada satu lagi perusahaan bergerak di bidang periklanan terintegrasi. Tangan dingin seorang Witjak seperti punya sentuhan magis. Pasalnya, setiap bisnis yang ia sentuh melejit dan siap go public.
Namun siapa nyana di balik itu, perjalanan bisnis tidaklah melulu sebagaimana diharapkan. Ia ingat betul, belum lagi kelegaan dia dan kolega bisnis di PT DPUM Tbk sukses melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 8 Desember 2015, musibah datang sekonyong-konyong. Pada 31 Desember 2015, sekitar pukul 23.30 WIB, Plant 3 PT DAJK Tbk yang berlokasi di Tangerang terbakar. Hasil penyidikan Mabes Polri tidak menemukan penyebab kebakaran karena semua barang bukti ludes terbakar. Kerugian perusahaan ditaksir mencapai Rp550 miliar. PT DAJK Tbk nyaris dinyatakan pailit oleh kreditornya. Lagi berjuang keluar dari kehancuran di DAJK, datang lagi ?musibah? baru menimpa Witjak.
Sepuluh kapal kayu berbobot 200-300 gross ton seharga Rp13 miliar per kapal yang dipesan dari galangan kapal di dalam negeri oleh PT DPUM Tbk, tidak keluar izin sebagai kapal penangkap ikan di perairan Indonesia dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Apa lacur? Kabarnya karena di PT DPUM Tbk ada saham asing. Dari 40% saham yang dilepas ke pasar, sebanyak 13,06% dimiliki UOB Kay Hian Pte Ltd. Dengan alasan inilah, KKP menilai PT DPUM Tbk belumlah layak mendapatkan izin sebagai perusahaan penangkapan ikan nasional.
Bak geledek di tengah siang bolong, Witjak dan rekan sekolega di DPUM tidak habis pikir dengan kebijakan itu. Mengapa perusahaan yang notabene saham mayoritas dimiliki perusahaan lokal, yakni PT Pandawa Putra Investama (pemegang 59,73% saham PT DPUM Tbk), kok, terkena ?ganjalan? birokrasi dengan alasan yang terkesan rasional tapi seperti agak mengada-ada? Gangguan tak hanya berhenti di situ. Ada lagi yang lain dan cukup bikin pusing kepala Witjak karena menyangkut reputasi dan nama baiknya sebagai pebisnis. Ia enggan mengungkapkan persisnya hal itu.
Tapi gara-gara gangguan itu, ia tidak bisa mengakses ke sumber-sumber dana yang dimilikinya di perbankan. Ada apa ini? Sejumlah rekan bisnis Witjak membacanya ada pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu. Pasalnya, bisnis pengolahan hasil laut terintegrasi PT DPUM Tbk mulai masuk kategori terbesar di Indonesia. Bahkan oleh pesaing asal Thailand, bila gerak langkah DPUM tak dibendung, bisa jadi pemain terbesar di Asia Pasifik. Untuk meredakan situasi, Witjak memilih lengser sebagai komisaris utama di PT DPUM Tbk. ?Mas Witjak itu ibarat pohon yang cagaknya kurang kokoh,? kemuka seorang kerabat dekatnya yang enggan diungkap jati dirinya. Yang dimaksud cagak yakni pijakan lain di luar bisnis, seperti pijakan politik.
Selama ini, Witjak berpikir business as usual tanpa melihat konstelasi sosial-politik yang melingkupi praktik bisnis di dalam negeri. Bukankah sudah menjadi pemandangan yang lumrah di negeri ini dan mungkin di dunia tempat petinggi partai politik banyak didominasi dari golongan pebisnis? Konsesi politik bagi pengusaha akan dimaknai sebagai pelindung dari gangguan lawan bisnis atau dari tangan politisi yang berkolaborasi dengan pebisnis. Atau, konsesi politik itu bisa juga diartikan sebagai sarana untuk mengais peluang bisnis.
Menyadari konstelasi seperti ini, Witjak memilih langkah melingkar untuk menyiapkan serangan balik. Apa itu? ?Tunggu saja,? tandas Witjak tanpa mau memerinci langkah melingkar yang sedang dipersiapkannya. Yang jelas, menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019 mendatang, akan ada tamu-tamu very-very important person (VVIP) bertandang ke pendopo bergaya khas rumah Jawa kuno di kediamannya di bilangan Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Penulis: Heri Lingga
Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi lll
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Advertisement