Pemerintah baru saja merilis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Kedepannya, Direktorat Jenderal Pajak akan lebih leluasa mengintip data nasabah perbankan untuk optimalisasi penerimaan negara lewat pajak.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan Perppu keterbukaan akses informasi keuangan nasabah untuk kepenting pajak belum tentu dapat dilakukan di tahun ini atau tahun yang akan datang. Hal itu dimungkinkan jika masa reses DPR telah selesai. Masa reses DPR sendiri sejatinya tidak lama lagi akan berakhir. Setidaknya sebelum perayaan hari raya Idul Fitri tiba.
"Masa reses DPR? sebentar lagi akan selesai. Setelah itu selesai, maka tidak akan ada pembahasan lagi untuk Perppu tersebut," kata Yustinus di Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Lebih lanjut Yustinus mengatakan bahwa pemerintah baru akan mensosialisasikan Perppu tersebut ke masyarakat. Hal itu perlu dilakukan, agar masyarakat tidak kaget pada saat perjalanan nantinya. Sebagai catatan dari beleid Perppu terkait? Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan? yang didapatkan dari laman resmi ?peraturan.go.id, Selasa 16 Mei 2017, terdapat 10 pasal. Terdapat beberapa pasal yang digaris bawahi.
Seperti pada pasal dua ayat satu, disebutkan Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan (LJK) yang melaksakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, peransuransian, lembaga jasa keuangan lain dan atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi. Kemudian pasal dua ayat dua yang menyebutkan bahwa LJK wajib menyampaikan pada Direktur Jenderal Pajak berupa laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar informasi keuangan berdasarkan standar perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasi sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan dan laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Lalu dalam ayat tiga disebutkan laporan berisi informasi keuangan yang memuat identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, identitas saldo atau nilai rekening keuangan dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Sementara dalam pasal tiga ayat satu disebutkan kewajiban penyampaian laporan dilakukan melalui mekanisme elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme eketronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak.
Untuk mekanisme elektronik, dalam pasal tiga ayat empat disebutkan LJK memiliki waktu paling lama 60 hari untuk melaporkan ke OJK sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara yuridiksi berdasarkan perjanjian internasional.
Sementara OJK memiliki waktu 30 hari sebelum batas berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara yuridiksi berdasarkan perjanjian internasional. Sedangkan untuk mekanisme non-elektronik, dalam pasal tiga ayat empat dikatakan LJK memiliki waktu empat bulan setelah akhir tahun kalender untuk melaporkan pada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam pasal enam ditekankan Menteri Keuangan dan pegawai Kementerian Keuangan termasuk Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara pedata. Begitu juga untuk pimpinan dan pegawai OJK serta LJK.
Untuk pasal tujuh menekankan bahwa pimpinan atau pegawai LJK yang tidak menyampaikan laporan, tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar dan tidak memberikan informasi, bukti dan keterangan akan kena hukuman pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan untuk lembaga akan dikenakan denda paling banyak Rp1 miliar.
Begitu juga untuk orang yang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangi informasi yang sebenarnya akan kena denda kurungan paling lama satu tahun atau membayar denda paling banyak Rp1 miliar. Dalam pasal 10, Perppu ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Perppu tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H Laoly pada 8 Mei 2017.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Gito Adiputro Wiratno
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi
Advertisement