Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sudah Nggak Zaman Keluarga Polisi Berlagak Ugal-Ugalan

Sudah Nggak Zaman Keluarga Polisi Berlagak Ugal-Ugalan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebuah mobil sedan dengan plat nomor Kementerian Pertahanan yang biasanya membuat hati masyarakat menjadi ciut takut baru-baru ini memasuki kawasan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, namun yang keluar bukannya seorang jenderal yang berpakaian dinas ataupun sipil, melainkan seorang wanita.

Wanita itu yang selama ini tidak dikenal meluas di kalangan masyarakat tiba-tiba namanya muncul di berbagai media cetak, media elektronik serta media online sehingga jutaan orang di Tanah Air secara mendadak mengenal nama dan ulahnya .

Namanya adalah Joice Onsay Warouw, istri seorang brigadir jenderal purnawirawan polisi yang bertugas sebagai Direktur Pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas, sebuah lembaga pendidikan tertinggi dan elit bagi para pejabat tinggi Tentara Nasional(TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) serta partai politik.

Nama Joice muncul ke permukaan setelah pada 5 Juli 2017 menampar seorang petugas keamanan Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Secara semaunya istri anggota Polri yang pasti merupakan anggota Bhayangkari menolak permintaan Elizabeth-- sang petugas keamanan-- yang memintanya untuk melepaskan jam tangannya.

Kok galak amat sih? Joice mungkin merasa lebih hebat atau lebih tingi derajatnya daripada Elizabeth yang memintanya melepaskan jam tangannya agar bisa diperiksa dengan alat pemindai X-Ray. Atau bisa juga penolakan itu muncul karena "menderita" satu jenis penyakit tertentu. Gara-gara penamparan itu, nama Joice menjadi "sangat terkenal" ke seluruh Tanah Air. Komentar muncul dari berbagai pihak terutama yang memakinya termasuk dari kalangan Polri sendiri.

"Jangankan istri polisi. Jenderal polisi pun kalau salah, maka pasti kita proses," kata Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Pilisi Syafruddin dengan nada yang sangat tegas.

"Kejadian kecil" ini menjadi sangat menarik perhatian masyarakat terutama karena Polri pada tanggal 1 Juli 2017 memperingati Hari Ulang Tahun(HUT) ke-71 walaupun baru dirayakan secara resmi pada hari Senin, 10 Juli karena pada saat ulang tahunnya itu, ratusan ribu prajurit Polri sedang sibuk- sibuknya mengamankan mudik dan arus balik Lebaran 2017.

Sementara itu, selama beberapa bulan terakhir ini, nama Polri sedang "naik daun " karena ulah heroik sejumlah prajuritnya. Warga Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, pasti tidak akan bisa melupakan ketika seorang prajurit Polri dengan gagah beraninya menyelamatkan seorang ibu yang sedang membawa bayinya saat sedang menaiki kendaraan umum dari cengkeraman seorang penjahat.

Sang polisi ingin menembak sang perampok, padahal sang ibu dan bayinya masih di dalam mobil angkot yang sempit itu. Kemudian polisi itu dengan menggunakan berbagai cara akhirnya bisa melumpuhkan penjahat itu, sehingga ada warga yang mnyebutnya sebagai tindakan yang bersifat oase.

Kemudian di markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara, ada orang yang berusaha menerobos penjagaan. Tapi gara-gara ulah terduga teroris itu, seorang polisi harus kehilangan nyawanya. Kemudian di Jakarta, ada terduga teroris yang berusaha menghadang atau mengganggu pawai yang dilakukan pada bulan suci Ramadhan di Terminal Kampung Melayu.

Bahkan di Mesjid Falatehan yang lokasinya hanya beberapa meter di depan Markas Besar Kepolisian Polri, seorang terduga teroris lag-lagi melakukan penyerangan dengan berusaha menusuk dua prajurit Polri. Kedua petugas keamanan itu selamat namun di lain pihak terduga teroris itu harus ditembak mati karena berusaha melarikan diri.

Pada hari Senin,10 Juli 2017, tak kurang dari Presiden Joko Widodo memimpin upacara HUT Polri ke-71 di Lapangan Monas, Jakarta Pusat dan kehadiran Kepala Negara itu pasti bisa ditafsirkan sebagai dukungannya terhadap tindakan- tindakan positif yang dilakukan jajaran polisi di Tanah Air.

Namun yang menjadi pertanyaan bagi masyarakat adalah kenapa ditengah-tengah begitu banyaknya langkah positif prajurit-prajurit Polri, tetap saja ada ulah negatif yang dilakukan "oknum-oknum" di kalangan internal Polri termasuk anggota Bhayangkari? "Sok hebat" Suami Joice Onsay Warouw adalah Direktur Pendidikan Lemhanas, sehingga masyarakat tentu bisa menafsirkan bahwa sang suami apalagi seorang jenderal purnawirawan Polri beserta anggota keluarganya adalah orang- orang terdidik, yang pasti menguasai dan memahami cara menghormati orang-orang lain siapa pun juga orang itu.

Namun kenyataan memperlihatkan bahwa istri sang jenderal --walaupun sang suami sudah menjadi purnawirawan karena telah pensiun-- sama sekali tidak menunjukkan sikap rendah hati seorang anggota keluarga pejabat negara.

"Saya merasa menyesal dan minta maaf," kata Joice. Sekalipun sudah "menyesal dan minta maaf" tentu kejadian memalukan ini sama sekali tidak patut dilupakan atau dibiarkan begitu saja. Istri pejabat --apalagi jenderal TNI ataupun Polri-- harus mampu memperlihatkan bahwa mereka itu patut diikuti atau diikuti cara berpikir atau bertindaknya.

Masyarakat yang sekarang hidup pada Era Reformasi mungkin perlu diingatkan bahwa puluhan tahun lalu, semua anggota Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (F-ABRI) yang jumlahnya 100 orang pernah mengeluarkan komentarnya yang mengkritisi situasi politik saat itu.

Dalam tanggapannya itu, para anggota Fraksi ABRI memulai dengan kata-kata" Walaupun kami menyadari bahwa kami adalah anggota ABRI, kami ingin menyampaikan suara kami sebagai wakil rakyat atau anggota DPR".

Para perwira ABRI yang saat itu juga mencakup Polri, disebutkan bahwa kekacauan di Tanah Air antara lain terjadi akibat adanya sikap " ABIS" atau Asal Bapak dan Ibu Senang". Jadi, pada saat itu saja sudah diakui adanya ulah negatif segelintir atau sekali lagi tindakan negatif beberapa istri pejabat.

Jadi kembali kasus penamparan terhadap sang petugas keamanan Bandara Sam Ratulangi, Manado oleh istri seorang jenderal purnawirawan Polri maka harus diakui masih saja ada istri pejabat yang menganggap enteng atau remeh petugas yang merupakan "orang kecil" yang dianggapnya "tidak selevel" atau tak sederajat dengan dirinya.

Selesaikah permintaan maaf? Joice Warouw boleh saja membacakan permintaan maaf kepada masyarakat akibat ulahnya yang sangat memalukan itu. Tapi tindakan hukum tetap harus diberlakukan terhadap sang penampar itu.

Kalau tidak ada tindakan hukum, maka bisa timbul kesan pada masyarakat bahwa "hukum berat kebawah dan enteng atau ringan ke atas" tetap berlaku. Selama ini masih ada saja kesan bahwa kalangan atas bisa bebas dari tindakan hukum sehingga orang bawah atau rendah saja yang pantas menjalani hukum. Karena suami Joice berasal dari Polri, maka masyarakat tentu bisa berharap agar Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Wakapolri Komjen Syafruddin mengambil tindakan tegas.

Tindakan tegas itu juga bisa dilakukan oleh pimpinan Lemhanas. Para pejabat negara terutama para pemimpin perlu menyadari bahwa kepala rakyat sudah dipusingkan oleh beban kehidupan sehari-hari sehingga sangat tidak pantas tindakan Joice dibiarkan begitu saja. Karena itu, ratusan juta orang Indonesia sangat pantas berharap jika pelaku tindakan memalukan di Bandara Sam Ratulangi itu ditindak tegas atau dihukum secara setimpal. (Arnas Firman/ANT)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: