Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penurunan Daya Beli: Mitos atau Fakta?

Oleh: Mohammad Faisal, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE)

Penurunan Daya Beli: Mitos atau Fakta? Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Saya ingin menanggapi beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kelesuan ekonomi saat ini tidak ada hubungannya dengan penurunan daya beli masyarakat.

1. Benarkah daya beli masyarakat menurun?

Data yang diterbitkan BPS menunjukkan bahwa selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan. Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan, tapi inflasi yang selama semester pertama 2017 mencapai 2,4 persen membuat pendapatan riil mereka tergerus 1,4 persen.

Ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali. Benar bahwa inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, tapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji, dan lain-lain, justru mendorong inflasi selama enam bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu.

2. Tapi apakah benar lesunya penjualan disebabkan oleh penurunan daya beli?

Memang penurunan penjualan di banyak sektor bukan hanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, apalagi oleh golongan berpendapatan bawah yang memang daya belinya lemah. Penyebab yang lebih penting adalah lantaran golongan kelas menengah menahan belanjanya (delayed purchase).

Buktinya, kalau kita melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama sembilan bulan terakhir sebenarnya meningkat. Namun, peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro, sebaliknya DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat.

Pertumbuhan DPK dalam valuta asing dalam sembilan bulan terakhir juga jauh lebih cepat daripada dalam rupiah. Ini terjadi sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia dan peningkatan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia yang mendorong aktivitas ekspor-impor dalam sembilan bulan terakhir. Sayangnya, peningkatan pendapatan tersebut tidak lantas ditransmisikan ke konsumsi di dalam negeri.

Kenapa? Salah satu alasannya adalah berkurangnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Hasil survei Bank Indonesia di bulan Juni menunjukkan kembali melemahnya indeks ekspektasi dan kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi dan daya beli selama enam bulan ke depan, meskipun sempat menguat di awal tahun.

3. Jadi bukan karena faktor disruptive economy?

Maraknya e-commerce memang berperan terhadap berkurangnya pelanggan di pertokoan dan pusat perbelanjaan, tapi kalaulah hanya itu penyebabnya maka semestinya dampaknya hanya pada sisi hilirnya, yaitu para retailers, tidak sampai ke hulu (produsen). Namun faktanya, bukan hanya pertokoan dan mal-mal, tetapi pabrik-pabrik pengolahan juga menahan produksi.

Perlambatan produksi sudah terjadi di banyak industri, mulai dari industri pakaian, peralatan listrik, sepeda motor, farmasi, plastik, bahkan juga sudah merambah ke sejumlah industri makanan dan minuman. Artinya, bukan hanya cara membelinya yang bergeser, tetapi permintaan juga melemah sehingga produksi pun terpaksa ditahan, bahkan dikurangi.

Kita semua tentu sangat tidak berharap terjadi penurunan daya beli dan kelesuan ekonomi, namun sebagai analis dan akademisi kita harus menyampaikan fakta dengan jujur agar kebijakan pemerintah yang sedang giat mendorong ekonomi tidak misleading.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: