Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan masyarakat lebih membutuhkan insentif dari Bank Indonesia dan industri perbankan agar dapat beralih ke pembayaran non-tunai menggunakan uang elektronik, bukan kebijakan yang justeru mengenakan penambahan biaya.
Hal itu dikatakan Bhima menanggapi adanya wacana beban biaya yang harus ditanggung konsumen saat melakukan isi ulang (top up) pembayaran elektronik di gerbang Tol. Dia?mencontohkan di Hongkong, perusahaan atau perbankan penerbit uang elektronik dan operator jasa transportasi menanggung seluruh biaya investasi infrastruktur uang elektronik melalui skema "sharing cost".
Skema "sharing cost" dengan operator transportasi itu justeru mengurangi beban biaya bank penerbit kartu, sehingga bank dapat memberikan diskon harga ke konsumen.
"Bahkan dengan 'sharing cost' tersebut si konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95 persen penduduk Hongkong pakai uang elektronik Octopus card," ujar Bhima melalui sambungan telepon.
Maka dari itu, ujar Bhima, kurang tepat jika nantinya masyarakat masih dikenakan biaya isi saldo uang elektronik, baik pada transaksi "off-us routing" (di luar infrastruktur bank penerbit) maupun "on-us routing" (melalui infrastruktur bank penerbit).?Pasalnya, kata dia, saat membeli uang elektronik, masyarakat sudah harus mengeluarkan biaya. Biaya pembelian uang elektronik perdana itu juga sudah termasuk marjin yang dinikmati bank sebagai pendapatan.
"Dari awal masyarakat sudah bayar kartu perdana e-money. Ketika dikenakan biaya top up, khawatirnya masyarakat bisa kembali pakai uang tunai lagi," ujar dia. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement