Ariel: Dengan Dana Berlimpah, Elit Politik Negara Fasilitasi Kampanye Anti Komunisme
Peringatan tragedi 30 September 1965 tahun ini dihadapkan pada munculnya kembali isu 'Bahaya Laten Komunisme' yang pertama kali digulirkan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo selama bulan September 2017. Jenderal asal Tegal itu meminta agar film Pemberontakan G30S/PKI ditayangkan kembali guna menjadi pelajaran sejarah serta mengingat agar kejadian itu tidak terjadi lagi.
Peneliti dari Monash University Ariel Heryanto menilai komunisme menjadi topik yang paling menarik dan sering dibahas dalam tiga generasi paling mutakhir. Meski menjadi topik yang disorot publik, akan tetapi?sumber bahaya yakni ?komunisme? di Indonesia dilarang dipelajari.
"Buku sumber komunisme, juga Marxisme, terlarang. Bahkan sobekan sampul buku semacam itu, jika bergambar palu-arit, bisa dianggap membahayakan negara. Pemiliknya bisa diserang gerombolan preman bayaran, atau ditahan polisi," kata Ariel sebagaimana dikutip dilaman the conversation.com.
"Dalam sejarah peradaban manusia, ilmu pengetahuan dikejar demi pemahaman yang dianggap sangat penting atau sangat berbahaya. Ilmu kesehatan ditekuni karena nilai pentingnya. Berbagai kuman, penyakit atau bencana alam diteliti karena bahayanya.?Mencintai tanpa memahami sesuatu disebut cinta buta. Memusuhi tanpa memahami sesuatu namanya sikap membabi buta,"
"Menghasut tiga generasi bangsa ke empat terbesar di dunia ini untuk memusuhi sesuatu, sambil melarang pemahaman tentangnya, ibarat menjerumuskan masyarakat Indonesia ke medan perang, membekalinya senjata, dengan mata tertutup," tambah sosiolog asal Salatiga tersebut.
Dia menilai kampanye anti-komunisme di Indonesia tidak akan pernah semarak sekarang jika tidak disponsori elite politik negara, dengan modal daya dan dana berlimpah. Ariel berujar dikalangan elite politik negara, baik Islam maupun Komunisme sama-sama diperlakukan sebagai alat berpolitik untuk membakar emosi massa atau stigma yang dilemparkan kepada lawan politik.
Jadi, kapan Indonesia bisa reda dari hiruk pikuk hantu komunisme?
"Jawabnya: bila sudah ada alat lain yang bisa dimanfaatkan para politikus itu untuk ambisi politiknya. Bagi mereka tidak terlalu penting apakah itu ajaran komunisme, atau Islam. Sehingga tak perlu dipelajari bersungguh-sungguh. Yang penting sejauh mana atribut itu bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik mereka," pungkasnya.
Dia pun mengakui jika Jokowi berkali-kali dijadikan sasaran tembak stigma komunisme oleh lawan politiknya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement