Sampai dengan semester pertama 2017, ekonomi global maupun domestik masih mengalami perlambatan. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 5%. Sekalipun dengan angka pertumbuhan yang menduduki rangking 3 tertinggi di antara negara G20, itu tetap belum cukup. Pasalnya, elastisitas pertumbuhan terhadap tenaga kerja masih sangat rendah. Dari 1% pertumbuhan ekonomi, hanya mampu menciptakan kesempatan kerja kurang dari 200.000 tenaga kerja. Padahal, rata-rata angkatan kerja baru tumbuh sekitar 2 juta orang, ditambah lagi beban angka pengangguran yang masih cukup tinggi.
Keterbatasan lapangan kerja tersebut dapat dipahami karena sektor yang tumbuh tinggi hanya sektor jasa yang kedap penyerapan tenaga kerja. Pada triwulan II 2017, sektor telekomunikasi dan informasi tumbuh 10,88%, sedangkan sektor jasa perusahaan tumbuh 8,14%. Sementara itu, sektor pengungkit tenaga kerja justru melambat, bahkan sektor industri manufaktur berada di titik nadir. Dalam komposisi pendapatan nasional (PDB), industri hanya tumbuh 3,54% karena pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang hanya 4,0% dan skala mikro-kecil anjlok menjadi 2,50%.
Indikasi bakal terus merosotnya pertumbuhan sektor industri sebenarnya nyata terbaca sejak 2016. Pertama, impor bahan baku dan barang modal masing-masing tumbuh -5,73% dan -9,4% selama 2016. Sementara itu, impor barang konsumsi justru mengalami peningkatan 13,54%. Menginjak tahun 2017, impor kembali menggeliat. Secara agregat, selama Januari—Agustus 2017 impor bahan baku dan barang modal sudah tumbuh 15,3% dan 9,09%. Meskipun demikian, pertumbuhan impor tersebut ternyata lebih banyak dipengaruhi faktor musiman. Nyatanya, Agustus 2017 impor bahan baku dan barang modal kembali tumbuh -3,47% dan -5,95% (mtm).
Di samping itu, peningkatan impor lebih didominasi barang untuk menopang percepatan pembangunan infrastruktur. Bahan baku industri makanan, seperti Serelia, hanya tumbuh secara terbatas, sementara impor barang konsumsi tumbuh 11,76%. Padahal, impor baku menjadi salah satu acuan atau leading indicator untuk mengukur kinerja sektor industri pada semester II 2017. Pasalnya, sebagian besar industri dalam negeri masih sangat tergantung pada bahan baku impor. Oleh sebab itu, besar kemungkinan pertumbuhan sektor industri manufaktur pada semester II 2017 masih stagnan di bawah 4%.
Indikasi kedua, terkonfirmasi oleh pertumbuhan kredit perbankan. Kredit yang dikucurkan per Juni 2017 hanya mencapai Rp4.518 triliun atau tumbuh 7,6% (yoy). Kredit modal kerja hanya tumbuh 6,9% dan kredit investasi 6,1%. Hanya kredit konsumsi yang masih tumbuh 9,9%. Terbatasnya pertumbuhan sektor industri berimplikasi pada terbatasnya permintaan kredit perbankan. Artinya, sekalipun telah terjadi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Day Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%, belum bisa langsung tertransmisi menggerakkaan sektor riil pada semester II 2017. Potensi kekakuan penurunan suku bunga kredit pun masih cukup tinggi. Pasalnya, perbankan harus menunggu konsolidasi dengan suku bunga deposito yang berjangka waktu 3 atau 6 bulan, juga meningkatnya rasio non performing loan (NPL). Sampai Juni 2017, NPL tercatat 3% (gross) atau 1,4% (net). Kondisi tersebut tentu menuntut bank lebih hati-hati dan selektif menyalurkan kredit.
Jika pertumbuhan kredit perbankan masih di kisaran 7—8 persen, pertumbuhan investasi pada semester II 2017 sudah mampu diprediksikan akan stagnan sekitar 5%. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat di-proxy dari potensi daya beli masyarakat. Secara umum, inflasi tergolong sangat rendah, termasuk inflasi pada kelompok bahan makanan. Namun, sekalipun harga bahan makanan dikatakan stabil, harganya stabil di angka yang tinggi. Terbukti, porsi pengeluaran konsumsi makanan dan minuman meningkat dari 26,2% semester I-2012 menjadi 38,7% pada semester I-2017. Akibatnya, konsumsi pakaian justru turun dari 4,8% menjadi 2,7%. Demikian juga dengan konsumsi transportasi dan komunikasi yang turun dari 29,5% menjadi 26,7%, konsumsi hotel dan restoran turun dari 12,5% menjadi 10,6%, serta konsumsi lainnya turun dari 5,3% menjadi 2,0%. Besarnya porsi untuk konsumsi makanan, jelas berimplikasi pada penurunan di hampir seluruh konsumsi nonmakanan. Alhasil, konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2017 hanya tumbuh 4,95%.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga jelas akan menjadi determinan pertumbuhan investasi. Hampir 80% produksi dalam negeri berorientasi pasar domestik. Tidak mengherankan jika pertumbuhan investasi (pembentukan modal tetap domestik bruto) pada triwulan II 2017 kembali melambat dari 5,35% (triwulan I) menjadi 4,78%. Ironisnya lagi, kontribusi investasi dalam PDB justru turun menjadi 31,5%, digeser oleh porsi konsumsi rumah tangga yang naik menjadi 56,3%. Artinya, perekonomian kembali semakin tergantung oleh konsumsi rumah tangga.
Padahal, pergeseran peran investasi mampu menjadi akselator pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya pertumbuhan investasi yang memadai, kebutuhan lapangan kerja tidak mungkin tercukupi. Konsekuensinya, pendapatan masyarakat sebagai pelaku konsumsi juga akan semakin terkikis. Oleh sebab itu, di tengah kondisi perlambatan ekonomi, pemerintah harus menggunakan instrumen stimulus fiskal yang tepat. Kebijakan fiskal ekspansif yang didanai dengan peningkatan utang belum tentu efektif menggerakkan ekonomi. Di tengah efektivitas belanja pemerintah yang masih rendah, peningkatan utang bisa jadi hanya menambah beban ruang fiskal. Kemampuan fiskal untuk memberikan stimulus yang produktif justru semakin menciut.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan pembiayaan utang tumbuh 26,7%. Akibatnya, beban pembayaran bunga dan cicilan utang mencapai 16,8% pada APBN. Di sisi lain, berbagai anggaran subsidi terpaksa harus dipangkas. Hasilnya, belanja negara tumbuh 7,16%, tapi pendapatan negara hanya tumbuh 5,5%. Belum lagi, defisit keseimbangan primer juga terus membengkak, pada APBN 2017 mencapai Rp144 triliun. Jika efektivitas belanja pemerintah masih sangat rendah, mestinya pilihan bentuk stimulus fiskal lebih realistis. Pemerintah tidak perlu ngotot menambah belanja, tapi justru memberikan insentif fiskal terhadap pelaku ekonomi, baik melalui skema rumah tangga produksi maupun konsumsi.
Berbagai insentif fiskal, sekalipun dalam jangka pendek, berpotensi penurunan penerimaan pemerintah. Namun jika produktif, justru akan efektif langsung menggerakkan sektor riil. Efek kelanjutannya tidak hanya lapangan kerja, tapi penerimaan pemerintah pun juga akan meningkat secara fundamental. Sebaliknya, jika kebijakan pemerintah hanya bussines as usual, ekspektasi dunia usaha maupun masyarakat terhadap ekonomi bisnis 2018 sulit untuk optimistis. Dibutuhkan kebijakan terobosan yang mampu mengakselerasi pertumbuhan agar mencapai target pertumbuhan 5,4%, utamanya percepatan ketersediaan lapangan kerja dan pemulihan daya beli masyarakat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu