Akhir tahun lalu, tepatnya bulan Desember 2016, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencanangkan program Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai (PRKC). Setelah bergulir hampir satu tahun, perkembangan program tersebut perlu untuk dikupas.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, dalam wawancara tertulis dengan Warta Ekonomi menguraikan, PRKC adalah program yang diinisiasi oleh Bea Cukai untuk memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan peran dan fungsi Bea Cukai dalam melakukan pemberantasan perdagangan ilegal, serta tuntutan masyarakat, terutama yang terkait dengan pemberantasan dan praktik pungli. Ada empat tema besar dalam reformasi yang dilaksanakan, yakni penguatan integritas; budaya organisasi dan kelembagaan; optimalisasi penerimaan, penguatan fasilitasi, dan efisiensi pelayanan; serta efektivitas pengawasan.
Dari empat tema tersebut, ada satu terobosan yang dilakukan Bea Cukai berupa program Penertiban Importir Berisiko Tinggi (PIBT). Program ini bertujuan untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan peluang terjadinya penyelewengan atau pelanggaran ketentuan yang berlaku. PIBT dianggap sebagai program yang krusial untuk segera dibenahi. Oleh sebab itu,diperlukan sinergi dengan aparat penegak hukum, kementerian, dan atau lembaga, seperti Pimpinan Polri, Kejaksaan, KPK, TNI, PPATK, dan Kantor Staf Presiden.
Heru mengungkapkan, dalam praktiknya, PIBT melakukan importasi secara borongan dengan modus under invoicing (pemberitahuan harga lebih rendah dari yang seharusnya) atau pun penghindaran pemenuhan perizinan larangan dan pembatasan (lartas). Adapun yang dimaksud barang impor berisiko tinggi, antara lain tekstil, minuman keras, dan barang elektronik.
Untuk melaksanakan program PIBT, DJBC tidak hanya melakukan penertiban terhadap tiga jenis barang tersebut, tetapi juga melaporkan secara berkala hasil kegiatan operasional di lapangan kepada Tim Satgas. Sebagai langkah jangka pendek, dilaksanakan kegiatan taktis operasional melalui pengawasan kinerja internal, kerja sama dengan aparat penegak hukum, kementerian, dan lembaga, juga sinergi dengan asosiasi. Selanjutnya, untuk jangka panjang, DJBC membangun kepatuhan pengguna jasa melalui revitalisasi manajemen risiko operasional.
Hingga bulan Agustus 2017, program PIBT telah menunjukkan pencapaian yang signifikan. Di awal tahun 2017, Bea Cukai bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memblokir 674 importir. Dalam hal aktivitasnya, jumlah importir berisiko tinggi, volume impornya menurun drastis apabila dibandingkan dengan data di awal tahun 2017. Diketahui bahwa jumlah rata-rata importir berisiko tinggi yang melakukan aktivitas tiap harinya menurun sebesar 51% (dari sebelumnya rata-rata 166 importir di Januari 2017, menjadi 82 importir di Agustus 2017) dan jumlah importasi pun menurun sebesar 65%.
Hal yang juga menarik ialah sudah dicantumkannya nama pemilik barang yang sebenarnya (indentor) dalam pemberitahuan impor barang yang disampaikan oleh importir sehingga hal ini mempermudah administrasi dan pengawasan kepatuhan kepabeanan dan cukai serta bidang perpajakan oleh DJP. Ke depan, diharapkan perilaku importir secara keseluruhan menjadi tertib sehingga bisa memberikan dampak optimal secara langsung terhadap penerimaan negara maupun dampak umum yang positif bagi kondisi perdagangan negara dan industri dalam negeri.
Keberhasilan program PIBT hanyalah salah satu dari target jangka pendek PRKC. Lebih lanjut, program unggulan akan diukur dari capaian-capaian periodik jangka pendek, atau istilah lainnya quick wins. Ini merupakan capaian singkat yang menggambarkan bahwa secara keseluruhan, program-program yang dirancang dalam PRKC ini reliable, achievable, dan berjalan pada jalur yang semestinya.
Beberapa program yang telah diselesaikan di Triwulan I 2017 lainnya adalah piloting pengendalian titik rawan integritas, rekonsiliasi data PIB dan data SPT Masa Bulanan, Automated Monitoring Tools, Single Identity, serta penertiban gudang berikat dan kawasan berikat. Sementara itu, program quick wins di Triwulan II 2017, antara lain, perluasan secondment pegawai DJP-DJBC, peningkatan joint analysis dan audit untuk komoditas tertentu, penertiban importir berisiko tinggi berkelanjutan, serta otomatisasi manajemen pengawasan (P-53 Online).
Sementara itu, target jangka panjang yang ingin dicapai adalah membentuk institusi Bea Cukai yang kredibel dan dipercaya publik, mampu melaksanakan tugas sesuai dengan konstitusi dan undang-undang, mengumpulkan penerimaan negara, menciptakan kepastian usaha, serta melayani masyarakat dengan profesionalisme, integritas, dan efisiensi yang tinggi. Menuju target jangka panjang tersebut, DJBC mengandalkan 19 inisiatif strategis (IS) yang telah disusun sedemikian rupa yang mempunyai periode waktu penyelesaian sampai dengan tahun 2020.
Beberapa rincian IS yang telah disusun, antara lain pengendalian titik rawan integritas untuk mewujudkan pegawai DJBC yang berintegritas dan profesional, revitalisasi budaya organisasi untuk mewujudkan perbaikan budaya organisasi guna mendukung reformasi birokasi DJBC, reenginering organisasi DJBC untuk mewujudkan organisasi DJBC yang kondusif dan fit dalam menghadapi tuntutan stakeholders, serta gabung program DJBC dan DJP untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan penegakan hukum di bidang perpajakan dan kepabeanan dan atau cukai
Haru menyadari, konsistensi menjadi kunci dalam keberhasilan program PRKC. Untuk itu, komitmen ini harus terus dijaga, komunikasi dan koordinasi harus tetap dilakukan secara intens dan rutin, baik dengan aparat penegak hukum maupun K/L terkait. Bagi internal DJBC, Heru berpesan bahwa program tersebut adalah kesempatan untuk berbakti kepada negara dan membuktikan kepercayaan masyarakat terhadap DJBC.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: