Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) memberangkatkan tim SOS for Syria XIV pada Jumat (23/2/2018) dan Sabtu (24/2/2018). Tim akan mendistribusikan bantuan pangan dan medis bagi para pengungsi Suriah yang mencoba menyelamatkan diri dari Ghouta Timur, Suriah.
Pengiriman ini untuk merespons besarnya dampak perang yang melanda Ghouta Timur, Suriah. Eskalasi konflik di Ghouta Timur telah berlangsung selama lebih dari seminggu, terhitung sejak Minggu (18/2/2018).
Senior Vice President ACT N. Imam Akbari menekankan, faktanya, tragedi kemanusiaan tengah berlangsung di Ghouta Timur. Manusia-manusia paling rentan, khususnya anak-anak, setiap saat harus meregang nyawa.
"Ini saatnya kita beraksi atas nama kemanusiaan. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membantu dalam konteks kemanusiaan meskipun yang kita tolong berasal dari latar belakang yang berbeda," Ujar Imam dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/2/2018).
Imam mengatakan, pihaknya beraksi menolong korban konflik dan mengajak banyak orang untuk peduli bersama. "Kami Insya Allah berikhtiar semaksimal mungkin untuk mencapai Suriah, bekerja sama dengan mitra-mitra kami," terang Imam.
Selain mengirimkan Tim SOS for Syria XIV untuk memberikan bantuan pada fase tanggap darurat, ACT juga tengah mempersiapkan program bantuan jangka panjang. Program tersebut bernama Indonesia Humanitarian Center (IHC).
"Karena seperti yang kita tahu, perang saudara di Suriah sudah berjalan selama tujuh tahun dan kita tidak tahu kapan ini akan berakhir. Oleh karena itu, kami gulirkan program jangka panjang ini untuk bisa menyuplai kebutuhan logistik pengungsi Suriah yang serba terbatas," kata Imam.
IHC rencananya akan fokus pada penyediaan bantuan dasar seperti pangan dan medis. Untuk tahap awal, bantuan logistik yang akan disediakan berjumlah 1.000 ton pangan.
Serangan udara yang terus menerus menggempur Ghouta Timur dinilai sebagai kondisi perang terburuk di Suriah, bahkan melebihi Aleppo pada 2016 lalu. Jet tempur secara intens membombardir rumah warga hingga fasilitas umum lainnya seperti masjid, rumah sakit, sekolah, dan bangunan lainnya.
Sebanyak 400 ribu penduduk Ghouta Timur terperangkap dalam zona merah konflik. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka, yang sebagian besar merupakan para pengungsi internal (IDP). Bahkan, untuk sekadar melindungi diri dari hantaman roket perang pun mereka sulit.
Hingga Sabtu (24/2/2018), observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) merilis data angka kematian yang telah melebihi 500 jiwa. Lebih dari 120 di antaranya adalah anak-anak.
Ghouta Timur telah dikepung pihak oposisi sejak 2013. Pasang surut perang berlanjut, melibatkan oposisi, rezim, dan juga beberapa negara lainnya yang terkait. Pengepungan selama lima tahun ini membuat bantuan kemanusiaan internasional sulit mengakses Ghouta Timur.
Ditambah dengan kondisi konflik yang makin intens seminggu belakangan ini, akses masuk pun semakin dibatasi. PBB telah menekan pihak-pihak terkait untuk segera melakukan gencatan senjata membuka akses terhadap bantuan kemanusiaan internasional, mengingat seriusnya dampak perang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait: