Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewirausahaan Nasional kembali bergulir di DPR. Pembahasan ini kembali dilanjutkan sejak pengajuannya pada 2015 yang lalu. Hal ini berakibat pada tertundanya pengesahan RUU ini menjadi UU. RUU Kewirausahaan Nasional diharapkan mampu menjawab dinamika wirausaha di Indonesia.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri mengatakan, kalau UU ini sudah disahkan, diharapkan mampu membantu menyelesaikan masalah kewirausahaan yang muncul saat ini dan akan muncul di masa depan. Seiring dengan berkembangnya zaman, Novani menyebut akan muncul dinamika usaha baru yang nantinya juga akan membawa tantangan dan masalah baru dalam bisnis.
Novani menambahkan, hal-hal yang mungkin akan muncul sebagai tantangan dunia bisnis antara lain tuntutan baru seputar kemudahan perizinan, iklim usaha, peningkatan daya saing pasar, akses pendanaan, literasi keuangan, dan teknologi serta kemampuan memanfaatkan teknologi yang dapat mendisrupsi pasar. Oleh karena itu, UU Kewirausahaan nantinya diharapkan dapat mendukung perkembangan dunia bisnis dan menyelesaikan masalah yang akan datang.
"Substansi yang terkandung dalam UU nantinya harus menjaga kedudukannya sebagai payung hukum tertinggi yang memuat prinsip-prinsip utama dan arah strategis yang akan menjadi acuan peraturan di bawahnya. Produk hukum turunannya yang mengatur mengenai substansi lain harus mampu menyesuaikan prinsip utama yang terkandung dalam UU," ujar Novani, Jumat (9/3/2018), di Jakarta.
UU ini juga nantinya diharapkan tidak tumpang tindih dengan UU lainnya. Peraturan turunan dari UU ini juga seharusnya tidak mengulang hal-hal yang sudah diatur di dalam UU Kewirausahaan Nasional.
"Kalau RUU Kewirausahaan ini disahkan, diharapkan dapat benar-benar mengarahkan pelaku bisnis terhadap peraturan yang lebih jelas dan terarah. Jangan sampai keberadaan UU yang baru akan membuat pelaku bisnis semakin bingung dengan semakin banyaknya peraturan yang mengatur kegiatan bisnis mereka," jelas Novani.
Selama ini permasalahan yang selalu dihadapi oleh kemudahan berbisnis di Indonesia adalah rantai birokrasi yang terlalu panjang dan terlalu banyaknya regulasi yang mengatur setiap fase bisnis. Dalam menanggapi hal ini, memang diperlukan peraturan khusus terkait kewirausahaan yang mengatur mekanisme bisnis mulai dari perizinan, peminjaman modal bisnis, pendirian bangunan, dan lain-lain yang lebih terarah dan inklusif.
Banyak peraturan di Indonesia terkait perizinan dan bisnis seringkali dikeluhkan para pelaku usaha dan investor asing. Hal ini dikarenakan peraturan di Indonesia tidak hanya diatur oleh pemerintah pusat. Sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah yang mengikat. Reformasi perizinan seharusnya dilakukan hingga ke daerah, tidak hanya di pusat. Hal ini karena peluang investasi tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Untuk mengatasinya, diperlukan integrasi yang jelas dan terarah antara pusat dan daerah. Pembentukan peraturan khusus yang difokuskan untuk mendukung pertumbuhan kewirausahaan akan percuma kalau tidak didukung dengan penyesuaian peraturan-peraturan di bawahnya.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, rasio wirausaha sampai dengan akhir 2016 adalah 3,1% dari jumlah penduduk. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2014, yaitu sebesar 1,67%. Kementerian Koperasi dan UKM menyebut tingkat kewirausahaan Indonesia sudah melebihi 2% dari populasi penduduk.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Fauziah Nurul Hidayah