Menuju Pilpres 2019 yang sudah di depan mata, masyarakat pers nasional memiliki tanggung jawab untuk menggali dan menyiarkan track record serta kapasitas tokoh-tokoh yang menyatakan siap menjadi presiden dan wakil presiden.
Pendiri Indonesian Online Media Syndicate (IOMS), Teguh Santosa, menuturkan informasi mengenai drama pencitraan tokoh seharusnya tidak menjadi warna dominan dalam pemberitaan seputar kontestasi politik nasional yang sudah di depan mata.
"Publik, sambung Teguh, harus mendapatkan informasi yang lebih substansial tentang figur daripada sekadar drama pencitraan," ujar Teguh dalam dialog di RRI Pro 1 Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Drama pencitraan seperti naik kereta atau naik jet pribadi bersama petahana, diundang ke Istana memberi makan domba, atau ke makam minta wangsit dan berkeliling dengan sepeda yang terlalu berlebihan bisa menyesatkan. Seakan hal-hal itu jauh lebih penting daripada kemampuan tokoh membaca tantangan zaman dan menyusun program strategis.
Masyarakat harus dibantu untuk memahami bahwa tantangan di depan lebih berat. Negara-negara besar dipimpin oleh tokoh yang memiliki karakter kuat dan di saat bersamaan punya komitmen memproteksi kepentingan nasional mereka. Ada Donald Trump di Amerika Serikat, Xi Jinping di Republik Rakyat China, Shinzo Abe di Jepang, dan Narendra Modi di India, misalnya.
Dia menambahkan, sejak 2012 dirinya sudah mengamati fenomena politik pencitraan yang ketika itu disebutnya sebagai photoshop politics. Target dari praktik politik yang menggunakan teknik-teknik memoles penampilan seorang tokoh ini hanya menawarkan keindahan semu.
"Kalau media massa diwarnai drama pencitraan, sementara media sosial diramaikan kabar bohong dan ujaran kebencian, pemilihan presiden secara langsung bisa berbuah petaka," tegas Teguh.
Pada bagian lain, Teguh Santosa juga mengingatkan bahwa mempromosikan gagasan, program strategis, dan tokoh yang dianggap memiliki kapasitas untuk mewujudkan gagasan melalui program-program strategis adalah tanggung jawab partai politik.
Menurut Teguh, kualitas demokrasi ditentukan oleh antara lain itikad partai politik menseleksi calon-calon pimpinan nasional yang memang kredibel dan punya kapasitas. Kalau belum apa-apa, partai politik sudah takluk pada "ancaman" popularitas yang dengan serampangan dikonversi menjadi elektabilitas maka partai politik sedang menawarkan racun di cawan emas untuk diminum rakyat.
"Konkretnya, hal pertama yang dilakukan partai politik seharusnya adalah menyeleksi tokoh berdasarkan track record dan kapasitas yang dimiliki. Setelah itu, baru mempopulerkannya sebagai tokoh yang paling pantas memimpin Indonesia ke arah yang lebih baik. Jangan dibalik," pungkas Teguh.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu